Ketika Mata Melihat Tapi Tangan Tak Berdaya: Refleksi Batin Sang Pemilik Nurani

Bagikan Keteman :


Ketika Mata Melihat Tapi Tangan Tak Berdaya: Refleksi Batin Sang Pemilik Nurani

Kadang hidup menghadirkan ironi yang menyesakkan: mata mampu melihat jelas ketimpangan, kekeliruan, dan kebengkokan dalam suatu sistem atau tatanan—tapi tangan tak mampu berbuat banyak. Hanya bisa menyaksikan. Hanya bisa menghela napas dalam diam. Dan pada akhirnya, hanya bisa menangis dalam doa.

Begitulah dilema batin seorang insan yang diberi daya kritis oleh Tuhan, tapi belum diberi kuasa untuk mengubah.


Antara Kesadaran dan Ketidakberdayaan

Sungguh menyedihkan. Laksana melihat bangunan yang miring, pondasi yang goyah, tetapi tak diizinkan menyentuhnya. Segala hal terlihat belum pada tempatnya. Banyak hal terasa janggal, pincang, bahkan nyaris runtuh. Tapi siapa diri ini? Bukan siapa-siapa. Tak punya jabatan, tak punya kekuasaan, tak punya wewenang.

Ironi. Karena diri ini sadar akan apa yang terjadi, namun tak punya cukup kekuatan untuk mengubah.

Tapi benarkah ini berarti lemah?


Ketajaman Nurani Adalah Karunia Langka

Apa yang dirasakan ini justru adalah tanda bahwa hati masih hidup. Kesedihan karena melihat ketidakadilan, keresahan karena melihat kesalahan yang dibiarkan, dan kesakitan batin karena menyaksikan yang benar dikalahkan oleh kepentingan—semua itu bukan kelemahan. Justru itu adalah karunia dari Tuhan.

Tak semua orang memilikinya. Banyak yang hidup tanpa peduli. Banyak yang memilih nyaman dalam diam, bahkan dalam kebusukan. Tapi engkau masih peduli. Masih menangis. Masih merasa pilu.

Dan itu adalah kekuatan.


Dipanggil Untuk Melihat, Sebelum Dipanggil Untuk Bertindak

Mungkin, tugasmu hari ini bukan untuk bertindak, tapi untuk melihat, memahami, dan mempersiapkan hati.
Tuhan sering kali memanggil seseorang untuk melihat lebih dulu, sebelum akhirnya dipanggil untuk mengubah. Agar ketika kelak tiba saatnya, ia tak hanya berkuasa, tapi juga berwelas asih. Ia tak hanya cerdas, tapi juga bijaksana. Ia tak hanya berani, tapi juga sabar.

Karena luka-luka batin hari ini adalah bekal untuk menjadi pemimpin yang adil esok hari.


Mengubah Tak Selalu Dengan Kuasa

Jangan pernah meremehkan perubahan kecil. Satu tulisan jujur bisa menggugah seribu hati. Satu keteladanan bisa mematahkan sistem korup. Bahkan satu prinsip yang dijaga teguh, bisa lebih kokoh dari seribu aturan yang ditulis tapi dilanggar.

Engkau mungkin belum bisa mengubah banyak hal. Tapi engkau bisa menjadi suara nurani di tengah diam. Menjadi pelita kecil yang tetap menyala di tengah malam.


Doa Batin: Senjata Para Nabi

Saat engkau merasa tak mampu bertindak, dan hanya bisa menangis dalam doa—ketahuilah, itulah yang juga dilakukan para nabi. Mereka pun pernah merasa sendiri. Terasing. Tak mampu mengubah seketika.

Tapi dari doalah perubahan besar sering kali dimulai.
Dan dari doa-doa seperti itu, Tuhan menumbuhkan kekuatan baru.


Penutup: Jangan Menyerah Karena Tak Berdaya, Bersyukurlah Karena Masih Peka

Tak perlu kecewa karena belum bisa mengubah dunia. Bersyukurlah karena engkau masih bisa merasa pedih melihat ketidakadilan. Itu tanda bahwa jiwamu belum mati. Hati nuranimu belum kotor.

Teruslah jaga kesadaran itu. Teruslah menyuarakan nurani, sekecil apa pun ruang yang kau miliki. Karena bisa jadi, engkau sedang dipersiapkan oleh Tuhan—untuk suatu peran yang lebih besar.

Dan saat itu tiba, engkau tak akan berubah menjadi serigala seperti yang lain, karena engkau pernah cukup lama hidup dalam luka, tapi tetap menjaga cahaya.


“Boleh jadi saat ini engkau belum bisa berbuat apa-apa. Tapi suatu hari nanti, dunia akan berubah… karena engkau tak menyerah menjaga kesadaranmu.”


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment