Kemunduran masyarakat muslim, bahkan di tingkat desa sekalipun, tidak lepas dari peran (atau kegagalan) pemimpinnya—baik umaro’ maupun ulama’.
Dalam setiap struktur masyarakat Islam, ada dua pilar utama yang menopang kestabilan dan kemuliaan umat: umaro’ (pemimpin pemerintahan) dan ulama’ (pemimpin keagamaan). Kedua entitas ini bukan sekadar pelengkap formalitas sosial, tetapi penjaga nilai, moral, dan arah hidup masyarakat.
Ketika umat mengalami kemunduran, titik awal yang patut dipertanyakan adalah: bagaimana keadaan para pemimpinnya?
1. Umat Rusak Ketika Umaro’ dan Ulama’ Abai
Di tingkat masyarakat terkecil—seperti desa—tanda-tanda kemunduran sering kali sangat nyata:
- Pelanggaran norma agama dan sosial semakin terbuka
- Rasa malu terhadap dosa hilang
- Nilai-nilai Islam tidak lagi menjadi rujukan hidup
Namun, di tengah semua itu, dimana suara umaro’? Dimana nasihat ulama’?
Jika pemimpin pemerintahan lebih sibuk pada urusan proyek dan kekuasaan, dan ulama lebih nyaman dalam kegiatan seremonial tanpa menyentuh akar persoalan, maka jangan heran jika umat menjadi seperti ladang yang ditinggalkan penjaganya—diserang hama dan akhirnya musnah.
“Dua golongan dari umatku, jika keduanya baik maka umat akan baik. Jika keduanya rusak, maka umat akan rusak: umara dan ulama.”
(HR. Abu Nu’aim)
2. Fungsi Umaro’: Menegakkan Aturan dan Ketegasan Moral
Pemimpin pemerintahan di tingkat lokal (kepala desa, lurah, camat, dan perangkatnya) bukan hanya bertugas mengurus administrasi, tetapi juga:
- Menjadi pengayom moral warga
- Memberikan sanksi sosial terhadap pelanggaran norma
- Mendukung program keagamaan dan ketertiban umum
Jika umaro’ hanya diam atau bahkan ikut dalam praktik pelanggaran nilai, maka masyarakat akan kehilangan rambu-rambunya.
3. Fungsi Ulama’: Membina dan Menegur, Bukan Diam dan Membisu
Ulama adalah lentera umat. Mereka punya tugas suci:
- Menyampaikan kebenaran meski pahit
- Membina masyarakat lewat dakwah, pengajian, dan nasihat
- Berani menegur penyimpangan walaupun dari kalangan elit
Jika ulama hanya sibuk dengan jadwal ceramah tanpa menyinggung masalah real umat, atau hanya mencari aman demi kenyamanan, maka ulama kehilangan fungsinya sebagai waratsatul anbiya’ (pewaris nabi).
4. Akibat Fatal: Umat Tanpa Arah, Desa Tanpa Kendali
Ketika keduanya lepas tanggung jawab, masyarakat akan:
- Membuat aturan sendiri sesuai hawa nafsu
- Menormalkan dosa dan pelanggaran
- Tidak tahu mana yang benar dan salah
Desa yang seharusnya menjadi miniatur negara Islam yang harmonis justru berubah menjadi arena kekacauan moral. Semua orang merasa bebas, semua nilai bisa ditawar, dan semua kesalahan bisa ditoleransi.
Kesimpulan: Pemimpin Harus Kembali Menjaga Umat
Pemimpin bukan sekadar jabatan, tetapi amanah besar di hadapan Allah. Baik umaro maupun ulama harus kembali kepada fungsinya sebagai penjaga umat, pelindung nilai, dan penegak keadilan sosial.
Karena ketika mereka diam, maka umat akan hilang arah. Ketika mereka lalai, maka masyarakat akan tenggelam dalam gelap. Dan jika umat telah rusak, bangsa ini tak akan punya masa depan.
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
By: Andik Irawan