Ketika Semua Diam: Awal dari Bencana Sosial yang Tak Terperihkan

Bagikan Keteman :


Ketika Semua Diam: Awal dari Bencana Sosial yang Tak Terperihkan

Sebuah masyarakat, sekecil apapun—entah desa terpencil atau kawasan pinggiran kota—akan bertahan dan berkembang jika ditopang oleh kesadaran kolektif. Bukan hanya oleh satu pihak, tapi oleh semua elemen: umaro’ (pemerintah), ulama, intelektual, tokoh masyarakat, orang tua, pemuda, dan para pendidik.

Namun ketika semua unsur ini mulai mementingkan egonya masing-masing, sibuk pada kenyamanan pribadi, dan aprori terhadap sekitar, maka bencana sosial tak terelakkan.


1. Gejala Awal: Masing-Masing Sibuk dengan Dirinya Sendiri

  • Ulama sibuk menjaga popularitas dan undangan ceramah, bukan akidah umat.
  • Umaro sibuk dengan proyek dan pencitraan, bukan pelayanan masyarakat.
  • Intelektual tenggelam dalam dunia kerja dan prestasi pribadi, bukan pembinaan.
  • Tokoh masyarakat hanya muncul saat acara besar, tapi tak hadir saat masyarakat terluka.
  • Warga hanya peduli dapur sendiri, bukan masa depan generasi.
  • Anak muda sibuk dengan dunia maya, lupa membangun dunia nyata.

Ini adalah penyakit kolektif: egoisme sosial.

“Jika masing-masing hanya menjaga dirinya sendiri, maka siapa yang menjaga masyarakat?”


2. Ketika Tugas Ditinggalkan, Nilai-Nilai Tumbang

Masyarakat tanpa rasa tanggung jawab dari para penjaganya akan kehilangan arah.

  • Norma agama dilecehkan
  • Etika sosial dihancurkan
  • Moral publik dicampakkan
  • Kebenaran dianggap gangguan, kebatilan dianggap wajar

Dan karena tak ada yang menegur, maka semua merasa diam itu biasa, apatis itu wajar, dan kemunduran adalah takdir.

Padahal bukan takdir, tapi kesalahan kolektif.


3. Terjun Bebas Menuju Kehancuran

Jika keadaan ini dibiarkan:

  • Kemunduran moral akan menjadi awal
  • Disusul degradasi sosial: kriminalitas, perpecahan, dan kerusakan
  • Lalu bencana spiritual: hilangnya rasa malu, hilangnya iman, hilangnya makna hidup

Dan puncaknya: bencana ilahiyah.

Karena ketika manusia tak mau lagi menjaga nilai-nilai Tuhan, maka Tuhan sendiri yang akan bertindak. Dan ketika Tuhan murka, maka tak ada satu pun yang mampu menahan azab-Nya.


4. Refleksi: Ini Bukan Akhir, Tapi Peringatan

Pertanyaannya kini:

  • Apakah kita akan terus diam?
  • Apakah kita akan menunggu kehancuran?
  • Apakah kita rela mewariskan kehampaan pada generasi berikutnya?

Maka sadarilah:

“Satu orang yang kembali peduli, bisa menjadi api yang menyalakan perubahan.”

Mulailah dari diri sendiri:

  • Kembali kepada agama
  • Bangkitkan nurani sosial
  • Serukan nilai, meski sendirian
  • Rangkul yang lain untuk kembali peduli

Kesimpulan: Bangkit Sebelum Terlambat

Jika semua unsur dalam masyarakat terus abai dan egois, maka masyarakat itu seperti kapal tanpa nahkoda dan awak yang saling diam—tak lama lagi akan karam.

Namun jika satu saja mulai bergerak, dan kemudian yang lain ikut, maka masyarakat masih bisa diselamatkan.

“Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment