“Musikalitas Jiwa: Ketika Doa Menjadi Lagu dan Hati Terlupa”
Manusia adalah makhluk irama. Tanpa disadari, sejak lahir bahkan sejak dalam kandungan, ia telah merespons suara, nada, dan getaran yang mengalun di sekitarnya. Musik bukan sekadar hiburan, tetapi bagian dari fitrah penciptaan manusia. Irama dapat membangkitkan semangat, menenangkan hati, bahkan membuat seseorang menangis dalam diam. Namun, di balik semua itu, ada sisi lain yang jarang disadari: musikalitas adalah ujian.
Irama: Antara Anugerah dan Godaan
Tidak bisa dipungkiri, alunan nada bisa membuat seseorang larut, mabuk, bahkan lupa diri. Irama mampu menggiring jiwa lebih dalam dari sekadar kata-kata. Namun, justru karena kekuatannya itu, musikalitas bisa menjadi alat yang menjauhkan manusia dari kesadaran spiritual jika tidak dikendalikan.
Contoh nyata yang sering kita temui adalah ketika doa-doa atau pujian kepada Allah dibacakan dalam bentuk nyanyian—seperti sholawat, dzikir berjamaah dengan irama, atau pembacaan doa dengan lantunan nada tertentu. Semua ini tampak indah, menyentuh hati, bahkan menggugah air mata. Tapi pertanyaannya: apakah hati kita sedang berbicara kepada Allah, atau hanya hanyut dalam iramanya?
Doa yang Dinyanyikan: Nikmat atau Lupa Niat?
Berdoa adalah dialog spiritual. Ia menuntut kehadiran hati, kesadaran penuh, dan niat tulus. Ketika doa dibacakan dengan lagu atau irama, ada risiko besar: niat yang semula menghadap Allah perlahan tergeser oleh rasa menikmati alunan suara.
Tanpa sadar, kita bisa lebih fokus pada merdunya lantunan, bukan pada makna doa yang dipanjatkan. Kita bisa lebih sibuk menyesuaikan nada dan harmoni, daripada hadir sepenuhnya dalam percakapan dengan Tuhan. Di sinilah bahayanya: doa yang seharusnya menjadi sarana mendekat, justru bisa menjadi hijab yang menutup kedekatan itu.
Mengembalikan Kesadaran: Irama Sebagai Wasilah, Bukan Ghayah
Tidak ada larangan mutlak dalam Islam untuk membaca doa atau sholawat dengan irama—selama tidak melanggar batas adab. Bahkan, jika irama itu membantu kekhusyukan dan menghadirkan hati, bisa jadi ia menjadi wasilah (alat bantu) menuju keikhlasan. Namun penting untuk dipahami: irama bukan tujuan, ia hanyalah kendaraan.
Jika kendaraan itu membuat kita lupa ke mana arah tujuan, maka ia bukan lagi penolong, tetapi penghalang. Maka penting untuk kita selalu bertanya dalam hati:
“Apakah aku sedang berdoa atau hanya sedang bernyanyi? Apakah aku sedang menghadap Allah atau sedang menikmati suaraku sendiri?”
Motivasi Jiwa: Jangan Lupa Tujuan Akhir
Saudaraku, jangan biarkan irama yang indah menenggelamkan makna. Jangan biarkan suara yang merdu mengaburkan arah. Nikmatilah keindahan musikalitas, tetapi pastikan hati tetap menghadap Tuhan.
Hidup ini adalah perjalanan menuju Allah. Setiap irama, kata, bahkan diam kita adalah potensi ibadah jika diniatkan dengan benar. Maka jadikan irama sebagai pelengkap, bukan pengalih. Jadikan lantunan sebagai sarana menghidupkan hati, bukan mematikannya dalam kelalaian.
Karena pada akhirnya, yang akan sampai kepada-Nya bukanlah indahnya suara, tetapi hadirnya hati.
By: Andik Irawan