Saat Waktu dan Keadaan Mengubah Segalanya
Dulu kita bersahabat.
Tertawa bersama dalam kesederhanaan.
Saling menguatkan dalam keterbatasan.
Satu rasa, satu jalan, satu perjuangan.
Namun kini, waktu telah bergulir, dan keadaan tak lagi sama.
Seseorang yang dulu kita panggil sahabat, kini terasa asing.
Ia berubah—bukan hanya dalam gaya hidup, tapi juga dalam cara memandang kita.
Dulu, saat kita sama-sama belum punya apa-apa, persahabatan begitu hangat.
Tidak ada sekat, tidak ada perbedaan.
Semuanya terasa sejajar karena sama-sama merasakan susah.
Tapi kini, setelah harta dan status sosial datang menghampirinya,
segala sesuatu ikut berubah: caranya bicara, caranya memandang, bahkan caranya menjauh.
Apakah Waktu yang Salah? Atau Keadaan yang Jahat?
Bukan. Waktu dan keadaan hanya pembuka tabir sejati siapa kita.
Ketika seseorang berubah karena naiknya ekonomi dan status,
itu bukan kesalahan waktu—itu adalah cerminan karakter.
Manusia memang mudah berubah.
Yang dulu sederhana dan rendah hati, bisa menjadi tinggi hati.
Yang dulu penuh empati, bisa menjadi penuh gengsi.
Yang dulu merendah, kini merasa layak untuk berada di atas.
Mengapa Ini Terjadi?
Karena ego.
Ego yang tak terlatih akan tumbuh liar bersama kekuasaan, kekayaan, dan pujian.
Dan hanya segelintir manusia yang mampu menaklukkan egonya saat sukses datang.
Yang bisa tetap membumi saat semua orang memuji.
Yang tetap bersahaja walau kini bergelimang harta.
Itulah sebabnya mereka yang tidak berubah oleh waktu dan keadaan adalah mereka yang berhasil menang atas dirinya sendiri.
Dan mereka adalah seribu satu.
Lalu, Apa yang Harus Kita Lakukan?
- Terima kenyataan bahwa tidak semua orang akan tetap sama.
- Jangan terlalu menggantungkan harapan pada manusia, karena manusia mudah berubah.
- Tetap jadi pribadi yang setia pada nilai kebaikan, meski ditinggal oleh yang dulu dekat.
- Belajar mengenali siapa yang tulus dan siapa yang hanya datang karena situasi.
Perubahan ini menyakitkan, iya. Tapi kadang, kehilangan sahabat karena perubahan status adalah cara kehidupan menunjukkan siapa yang benar-benar layak disebut sahabat.
Jangan biarkan luka ini membuat kita ikut berubah menjadi getir.
Tetaplah berjalan di jalur yang benar, karena pada akhirnya, yang tulus akan kembali—atau digantikan oleh yang lebih baik.
Penutup: Dewasa dalam Menyikapi Perubahan
Dewasa bukan hanya soal usia, tapi soal menerima bahwa:
- Tidak semua hubungan bisa bertahan.
- Tidak semua yang dulu dekat akan selalu tinggal.
- Tidak semua perpisahan membawa luka; kadang justru membuka pintu kebaikan baru.
Biarlah mereka berubah.
Asal kita tidak kehilangan nilai dalam diri, maka kita tidak pernah benar-benar kehilangan apa-apa.
By: Andik Irawan