Jalan Para Nabi: Terjal, Sunyi, dan Penuh Luka, Tapi Mulia
Dalam lembaran sejarah umat manusia, tak satu pun nabi atau pembawa risalah kebenaran yang hidup di jalan nyaman dan mudah. Jalan yang mereka tempuh adalah jalan yang berat, penuh rintangan, penuh pengorbanan—jalan terjal yang mendaki. Mereka melangkah bukan demi dunia, bukan demi popularitas, tapi demi menjaga nilai kebenaran, mempertahankan kejujuran, melawan kesewenang-wenangan, mengalahkan kedzaliman, dan mengajarkan manusia jalan hidup yang benar.
Inilah jalan keras para kekasih Tuhan. Jalan sunyi yang tidak semua orang berani dan sanggup menempuhnya.
1. Jalan Kejujuran Tak Pernah Mudah
Para nabi dan orang-orang jujur sepanjang zaman harus siap menghadapi:
- Penolakan dari orang-orang dekat mereka sendiri
- Fitnah dari masyarakat yang menolak berubah
- Ancaman dari penguasa lalim yang terganggu oleh kebenaran
- Pengorbanan harta, tenaga, waktu, bahkan jiwa
Semua itu tidak instan. Jalan ini menuntut waktu, kesabaran, konsistensi, dan pengorbanan besar, baik materi maupun nonmateri. Tidak ada kemudahan dalam menapakinya. Yang ada hanyalah penderitaan demi penderitaan, luka demi luka. Namun, justru karena itulah jalan ini mulia.
“Dan betapa banyak nabi yang berperang didampingi oleh sejumlah besar pengikut yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa di jalan Allah, tidak patah semangat, dan tidak menyerah.”
(QS. Ali Imran: 146)
2. Jalan Ini Jalan Sunyi
Ini adalah jalan yang sepi dari peminat. Sebab ia tidak menawarkan kemewahan, kenyamanan, atau sorotan dunia. Jalan ini menuntut perjuangan batin, keteguhan prinsip, dan kesediaan untuk berjalan sendirian saat semua menjauh. Sebab mayoritas manusia lebih suka jalan yang:
- Licin, landai, tanpa rintangan
- Penuh tawa dan pujian
- Mendatangkan keuntungan cepat
Padahal, seringkali jalan yang mudah adalah jalan yang menyesatkan, sementara jalan yang sulit adalah jalan menuju cahaya.
“Beruntunglah orang-orang yang asing.”
(HR. Muslim)
Maksudnya, orang-orang yang tetap bertahan dalam kebenaran ketika mayoritas manusia sudah tergelincir dalam kesesatan.
3. Tidak Semua Orang Siap Menempuh Jalan Ini
Butuh kekuatan ruhani untuk tetap tegak di atas jalan yang sepi dan mendaki ini. Butuh kebeningan hati untuk tidak tergoda oleh jalan lain yang lebih mudah tapi menyesatkan. Dan butuh keberanian luar biasa untuk memilih penderitaan dalam menjaga prinsip, dibanding kenyamanan dalam kompromi.
Jalan ini adalah pilihan hidup yang menuntut keyakinan dan keteguhan. Mereka yang memilihnya akan kehilangan banyak hal secara duniawi, tapi mereka justru akan mendapatkan kemuliaan yang tidak bisa dibeli oleh dunia manapun.
4. Menapaki Jalan Ini dengan Kesadaran Mulia
Memahami jalan ini berarti menyadari bahwa:
- Kesulitan bukanlah kutukan, tapi validasi bahwa kita berjalan di jalan yang benar
- Kesendirian bukanlah kegagalan, tapi tanda bahwa kita tidak ikut hanyut dalam arus sesat
- Penderitaan bukan akhir, tapi awal dari kemuliaan yang Allah janjikan
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti yang dialami orang-orang sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan serta diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga rasul dan orang-orang yang beriman berkata: ‘Kapankah datang pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.”
(QS. Al-Baqarah: 214)
Penutup: Jalan Berat, Tapi Itulah Jalan Para Kekasih Allah
Jika hari ini engkau merasa sendiri karena terus menjaga kejujuran, merasa dikucilkan karena tidak mau ikut arus yang rusak, merasa letih karena mempertahankan prinsip hidup yang lurus, maka yakinlah—engkau sedang berada di jalan yang sama dengan para nabi dan orang-orang saleh.
Jalan ini memang penuh luka, tapi setiap luka itu akan menjadi mahkota kemuliaan di hadapan Tuhan. Karena jalan yang lurus tidak pernah dijanjikan mudah, tapi selalu dijanjikan bernilai.
“Barangsiapa bersabar dan memaafkan, sungguh (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang mulia.”
(QS. Asy-Syura: 43)
By: Andik Irawan