Dahulu, desa dikenal sebagai tempat paling subur bagi tumbuhnya nilai kejujuran. Masyarakatnya hidup dalam kesederhanaan, saling mengenal, dan menjunjung tinggi nilai luhur warisan budaya. Lingkungan desa dianggap polos, lugu, dan jujur, karena jauh dari hiruk-pikuk kota dan godaan kehidupan materialistik. Namun kini, anggapan itu perlahan mulai pudar.
Ironisnya, kebohongan justru mulai merebak di desa, bukan dari mereka yang tidak sekolah, tetapi dari mereka yang justru berpendidikan tinggi. Mereka yang dulunya diharapkan menjadi teladan, kini malah menjadi pelopor kebohongan. Fenomena ini adalah ironi sosial yang menyayat hati. Pendidikan yang seharusnya mencetak manusia berkarakter luhur, justru menghasilkan individu yang pandai berdusta demi kepentingan pribadi.
Pendidikan Tanpa Arah Moral
Penyebab utama dari ironi ini adalah model pendidikan kita yang lebih banyak menekankan aspek pengetahuan dan keterampilan, namun abai terhadap pembentukan karakter. Anak-anak disekolahkan tinggi-tinggi, dikejar nilai dan gelar, tapi tidak dibekali dengan kekuatan moral yang cukup. Mereka tumbuh dengan otak yang cerdas, tapi hati yang kosong. Mereka pandai membuat argumentasi, namun juga pandai menutupi kenyataan dengan kebohongan yang dibungkus logika.
Pendidikan tanpa nilai hanya akan menciptakan kecerdasan tanpa arah. Ia bagaikan pedang bermata dua – bisa digunakan untuk kebaikan, tapi juga bisa menusuk siapa saja demi ambisi pribadi.
Desa yang Tak Lagi Perawan
Desa yang dulu dikenal sebagai wilayah yang jujur dan bersahaja, kini telah berubah. Arus informasi, media sosial, kepentingan politik, hingga pengaruh budaya urban, telah menyusup ke pelosok-pelosok desa. Desa tak lagi steril. Budaya konsumtif, gaya hidup instan, dan ambisi material telah merasuki sendi-sendi kehidupan warganya.
Di tengah masyarakat yang belum siap secara mental menghadapi perubahan itu, mereka yang berpendidikan seharusnya hadir sebagai pelindung dan pembimbing moral. Namun sayang, banyak dari mereka justru menjadi pemain utama dalam praktik-praktik yang menyimpang – dari kebohongan publik, manipulasi data, hingga penyalahgunaan kewenangan.
Pengetahuan Tanpa Nurani
Ketika seseorang berpendidikan, ia memiliki akses terhadap informasi, hukum, dan kekuasaan. Namun jika tak dibarengi dengan hati nurani, maka ilmu itu bisa digunakan untuk memperdaya yang lemah. Ia tahu celah hukum, tahu cara bicara, dan tahu bagaimana menyelamatkan diri – sekalipun dengan cara yang tak jujur. Ilmu menjadi alat manipulasi, bukan sarana pembebasan.
Semakin tinggi gelar, semakin pintar berkelit. Semakin banyak sekolah, semakin halus cara berdusta. Ini adalah peringatan keras bagi dunia pendidikan: bahwa kecerdasan intelektual tanpa fondasi moral hanya akan melahirkan aktor-aktor kebohongan yang sah di mata hukum, tapi merusak di mata masyarakat.
Sistem Sosial yang Membunuh Kejujuran
Di masyarakat kita, kejujuran sering kali tidak dihargai. Orang yang jujur dianggap bodoh, tidak pintar mencari celah, dan dianggap tak bisa “membaca situasi.” Sementara mereka yang licik justru dipuji sebagai orang yang cerdas dan berhasil. Dalam sistem seperti ini, orang baik bisa frustasi, merasa terasing, dan perlahan ikut tergerus arus.
Kejujuran menjadi barang mewah. Ia bukan lagi norma umum, melainkan sikap langka yang justru membuat pelakunya tersingkir. Padahal, kejujuran adalah fondasi dasar dari masyarakat yang sehat. Tanpa kejujuran, kepercayaan runtuh, dan ketika kepercayaan hancur, maka rusaklah semua tatanan.
Mengapa Ini Harus Menjadi Alarm Bahaya?
Kita tidak sedang kehilangan tokoh pandai, tetapi kita sedang kekurangan orang-orang berintegritas. Kita tidak sedang kekurangan orang sekolah tinggi, tetapi kekurangan orang yang jujur. Ini adalah krisis karakter. Dan jika tidak segera diatasi, akan melahirkan generasi baru yang cerdas namun tak bisa dipercaya, yang pintar tetapi tak amanah, dan yang berseragam rapi tapi bertindak culas.
Penutup: Saatnya Menyadarkan Arah Pendidikan dan Sosial
Jika kita ingin mengembalikan kejujuran ke tengah masyarakat – terlebih di desa – maka kita harus memulai dari akar. Pendidikan bukan sekadar penguasaan ilmu, tapi juga pembentukan jiwa. Sistem sosial harus menghargai nilai, bukan sekadar pencitraan. Dan tokoh-tokoh masyarakat harus menjadi contoh, bukan sekadar penonton.
Desa adalah harapan terakhir dari nilai-nilai luhur bangsa. Jangan biarkan ia dikorupsi oleh kepalsuan yang dibawa dari luar. Dan bagi mereka yang berpendidikan, jadilah pelita – bukan pemadam cahaya.
“Karakter yang baik akan dikenang lebih lama daripada kecerdasan, sebab kebohongan yang cerdas akan selalu kalah oleh kebenaran yang konsisten.”
By: Andik Irawan