Beragama yang Tertinggal di Sajadah: Ketika Islam Hanya Tinggal Simbol

Bagikan Keteman :

Kehidupan umat Islam hari ini: Agama dijalankan sebatas ritual, tapi nilai dan ruhnya tidak mengakar dalam kehidupan nyata.


Fenomena yang terjadi di tengah umat Islam saat ini bukanlah krisis ibadah ritual. Masjid ramai, puasa dijalankan secara massal, haji setiap tahun membludak, dan berbagai aktivitas keagamaan dilakukan dengan gegap gempita. Tapi ironisnya, di balik semarak itu, krisis paling besar justru ada pada sisi muamalah, akhlak, dan kepedulian sosial.

Inilah yang disebut “beragama secara simbolik dan ritualistik”, ketika agama hanya menjadi identitas dan rutinitas, tanpa menyentuh esensi sejatinya: membentuk manusia yang adil, jujur, peduli, dan takut kepada Allah dalam segala aspek kehidupan.


1. Merasa Cukup dengan Ritual, Tapi Abai terhadap Muamalah

Contoh paling nyata yang bisa kita saksikan setiap hari:

  • Orang rajin sholat, tapi berani melakukan riba dalam bisnis atau bank.
  • Orang rutin puasa dan haji, tapi tidak peduli tetangganya kelaparan.
  • Pimpinan lembaga keagamaan berkali-kali umrah, tapi menerima suap dan memperkaya diri sendiri.
  • Umat Islam ramai di pengajian, tapi membiarkan anak-anak yatim, janda miskin, dan dhuafa tanpa perhatian.

Ini bukan soal kurangnya ibadah. Tapi soal tidak terintegrasinya nilai-nilai ibadah dalam kehidupan nyata.


2. Beragama Tanpa Rasa Takut Akan Dosa

Yang paling menyedihkan, banyak pelanggaran dilakukan dengan sadar dan tenang, seolah-olah tidak merasa bersalah:

  • Riba dianggap wajar
  • Suap dianggap biaya wajar untuk memperlancar urusan
  • Menipu dianggap keahlian dagang
  • Ghibah, fitnah, dan caci maki menjadi kebiasaan

Padahal semuanya dilarang keras dalam agama, bahkan lebih ditekankan dalam Al-Qur’an dibandingkan soal teknis ibadah.

Allah berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
(QS. Ali Imran: 130)

Jika sholat dan puasa tidak bisa mencegah dari hal-hal haram seperti itu, maka artinya ibadah tersebut belum menyentuh hati dan kesadaran.


3. Agama yang Tidak Membentuk Karakter

Tujuan utama dari semua ibadah bukan sekadar menggugurkan kewajiban, tapi membangun manusia yang bertakwa.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
(QS. Al-Baqarah: 183)

“Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.”
(QS. Al-Ankabut: 45)

Kalau seseorang masih berani korupsi, mengkhianati amanah, memfitnah orang lain, atau menzalimi tetangga, meski rajin sholat dan puasa—maka ibadahnya hanyalah kulit luar tanpa isi.


4. Islam Itu Bukan Hanya Ritual, Tapi Sistem Kehidupan

Islam adalah agama yang menyeluruh (kaffah). Ia tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (hablum minallah), tapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesama (hablum minannas).

Karena itu, orang yang hanya menekankan ibadah ritual tapi menyepelekan urusan sosial, ekonomi, dan moral adalah orang yang belum menjalani Islam secara utuh.

“Apakah kamu beriman kepada sebagian dari isi Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain?”
(QS. Al-Baqarah: 85)


5. Penutup: Saatnya Kembali ke Islam yang Esensial

Beragama bukan hanya soal sholat, puasa, haji, dan zikir. Islam adalah jalan hidup yang membentuk kepribadian, menyucikan hati, dan membangun peradaban.

“Berislam bukan hanya bagaimana cara sujudmu, tapi bagaimana kamu memperlakukan sesamamu.”
“Islam bukan hanya di sajadah, tapi juga di pasar, di kantor, di rumah tangga, dan di jalanan.”

Jika umat Islam ingin bangkit, maka harus keluar dari jebakan ritual kosong dan masuk ke wilayah penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Islam dalam seluruh aspek kehidupan.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment