Ini merupakan akar dari krisis kedewasaan beragama yang banyak terjadi saat ini.
Simbol Bukan Segalanya: Kedewasaan Beragama Terletak pada Esensi, Bukan Gaya
Dalam kehidupan beragama, simbol memang penting. Ia adalah penanda identitas, media komunikasi, dan sarana pengingat akan nilai-nilai luhur. Namun ketika simbol dijadikan kebanggaan utama, bahkan dijadikan ukuran kehebatan seseorang dalam beragama, di situlah agama mulai kehilangan makna sejatinya.
Berbangga dengan simbol agama adalah ciri keagamaan yang kekanak-kanakan.
Dewasa dalam beragama adalah berfokus pada esensi dan substansi.
1. Simbol dalam Agama: Banyak, Tapi Bukan Tujuan
Islam memiliki banyak simbol dan ekspresi luar:
- Ragam ritual: sholat, puasa, haji, dzikir, tilawah
- Gelar kehormatan: pak haji, pak ustadz, kiai, santri, habib, ustadzah
- Busana: jubah, sorban, peci, jilbab syar’i, cadar, gamis
- Lembaga dan organisasi: ormas Islam, pondok pesantren, majelis taklim
- Ucapan: “Alhamdulillah”, “Insya Allah”, “Barakallahu fiikum”
Simbol-simbol ini sah dan bahkan dianjurkan jika mendukung kesadaran dan akhlak. Tapi jika dijadikan kebanggaan utama, bahkan menjadi sumber klaim kesalehan, maka itu menjadi penyakit yang halus tapi berbahaya—karena membungkus kesombongan dengan nuansa religius.
2. Agama Bukan Fashion Show, Bukan Ajang Gelar, Bukan Parade Gengsi
Sering kita saksikan fenomena:
- Orang berlomba memakai busana religius, tapi tak mampu menahan amarah dan lidah kasar.
- Saling menyebut gelar “Pak Haji”, “Ustadz”, “Kyai”, tapi tidak ada semangat memperbaiki akhlak dan menolong sesama.
- Bangga dengan keikutsertaan dalam ormas Islam tertentu, tapi gemar mencaci kelompok Islam lainnya.
Ini bukan kedewasaan beragama. Ini infantilisme spiritual—beragama seperti anak-anak yang senang topi seragam, tapi tidak paham makna perjuangan.
3. Kedewasaan dalam Beragama: Fokus pada Isi, Bukan Cangkang
Dewasa dalam beragama berarti:
- Tidak silau pada penampilan, tapi menilai dari akhlak dan manfaat.
- Tidak terjebak pada gelar dan panggilan, tapi pada kontribusi nyata.
- Tidak sibuk menilai siapa yang lebih Islami, tapi siapa yang lebih peduli.
Rasulullah ﷺ sendiri—pemimpin umat, kekasih Allah, guru bagi seluruh manusia—tidak pernah menuntut panggilan kehormatan atau penampilan mencolok. Beliau sederhana, rendah hati, dan mengukur nilai orang dari kejujuran, amanah, dan kasih sayang.
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)
4. Simbol Itu Sarana, Bukan Tujuan
Simbol hanyalah jalan menuju nilai, bukan nilai itu sendiri. Maka memakai simbol boleh, tapi jangan berbangga diri karenanya. Jangan merasa lebih baik hanya karena jubah, sorban, atau gelar.
Karena bisa jadi:
- Orang tanpa gelar “ustadz” lebih ikhlas dalam dakwahnya.
- Orang tanpa peci lebih amanah dalam bekerja.
- Orang tanpa baju syar’i lebih jujur dalam berdagang.
5. Penutup: Jangan Dewasa di Usia Tapi Kanak-Kanak dalam Agama
“Agama bukan pakaian yang dipamerkan, tapi jiwa yang diperjuangkan.”
“Bukan seberapa panjang jubahmu, tapi seberapa lapang hatimu.”
“Bukan seberapa lantang ucapan agamisnya, tapi seberapa nyata kasih sayangnya.”
Dewasa dalam beragama adalah mampu meletakkan simbol pada tempatnya—sebagai pendukung, bukan pusat. Esensi Islam terletak pada:
- Keikhlasan hati
- Kejujuran akhlak
- Kepedulian sosial
- Ketaatan pada Allah, bukan pada penilaian manusia
Mari kita berhenti membesarkan simbol, dan mulai menghidupkan makna. Karena agama bukan sekadar dikenakan—ia harus dihayati, dihidupi, dan dibuktikan.
By: Andik Irawan