Kaya Setelah Ibadah: Apakah Itu Barokah?

Bagikan Keteman :


Banyak orang berpikir bahwa ketika ia rajin beribadah lalu mendapat limpahan rezeki, hidupnya menjadi lebih sejahtera, hartanya bertambah, bisnisnya sukses, maka itu adalah tanda barokah dari Tuhan. Ia berkata penuh bangga, “Ini semua berkat amal sholehku, hidupku sekarang barokah!”

Namun, benarkah demikian?

Antara Rezeki dan Amal Sholeh

Pikiran semacam ini, meski tampak wajar, sesungguhnya mengandung kekeliruan mendalam. Harta yang banyak tidak selalu berarti barokah, dan amal sholeh tidak otomatis menghasilkan kekayaan duniawi. Kenapa?

Karena Tuhan tidak hanya memberi harta kepada orang saleh.

Dia juga memberi rezeki melimpah kepada orang-orang kafir, para pelaku maksiat, bahkan penguasa zalim. Lihatlah Fir’aun, Qarun, atau tokoh-tokoh besar yang melawan kebenaran—semua mereka pernah memiliki kekuasaan, kemewahan, dan kekayaan yang luar biasa. Namun apakah itu berarti hidup mereka barokah?

Tentu tidak.

Kesalahan Fatal: Menyamakan Nikmat dengan Ridha Allah

Ini adalah kesalahan logika yang umum terjadi: mengira bahwa pemberian nikmat dunia berarti Tuhan sedang ridha. Padahal, tidak semua nikmat itu tanda cinta Tuhan. Bisa jadi justru itu adalah ujian atau bahkan istidraj (penundaan azab dengan limpahan nikmat).

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Apakah mereka mengira bahwa dengan harta dan anak-anak yang Kami berikan itu (berarti) Kami bersegera memberikan kebaikan kepada mereka? Tidak! Sebenarnya mereka tidak sadar.”
(QS. Al-Mu’minun: 55–56)

Lalu, Apa Itu Barokah?

Barokah bukan berarti banyak.
Barokah berarti kebaikan yang bertambah. Bisa jadi harta sedikit, tapi cukup, tenteram, penuh syukur, dan membawa manfaat. Itulah barokah. Sedangkan harta melimpah yang disertai kegelisahan, konflik, kesombongan, dan kemaksiatan—itu jauh dari barokah.

Satu juta yang halal, cukup, dan menenangkan lebih baik daripada seratus juta yang menjerumuskan jiwa.

Ujian Tuhan Tak Selalu Berbentuk Musibah

Sebagian orang berpikir bahwa ujian dari Tuhan hanya berupa kesusahan. Padahal tidak! Kesenangan pun ujian. Justru ujian dalam bentuk kemewahan sering lebih berbahaya—karena ia membutakan mata hati, meninabobokan kesadaran, hingga seseorang tak sadar bahwa ia sedang diuji.

Allah mengingatkan:

“Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan.”
(QS. Al-Anbiya: 35)

Tugas Kita Bukan Menafsir Nikmat Dunia, Tapi Memperbaiki Hati

Seorang hamba yang bijak tak sibuk menafsirkan hartanya sebagai “tanda diterima ibadahnya.” Ia lebih sibuk memastikan niatnya lurus, amalnya benar, dan hatinya bersih. Ia takut jika harta justru menjauhkan dirinya dari Tuhan.

Ia sadar bahwa rezeki terbesar bukan harta, tapi iman yang teguh, hati yang bersih, dan amal yang ikhlas.


Penutup: Ukur Barokah dengan Kaca Mata Langit, Bukan Dunia

Jangan buru-buru menyebut hidup kita barokah hanya karena dompet menebal dan rekening bertambah. Ukurlah dengan timbangan yang lebih dalam:

  • Apakah hidup ini mendekatkan kita kepada Allah?
  • Apakah rezeki itu membuat kita lebih banyak bersyukur dan berbagi?
  • Apakah harta yang kita punya membawa ketenangan jiwa?

Jika jawabannya “ya”—maka itulah barokah.

Jika tidak—maka mungkin, kita sedang diuji… bukan dimuliakan.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment