Ketika Ibadah Tak Mencegah Kejahatan: Antara Fasik, Nikmat, dan Istidraj Tuhan

Bagikan Keteman :


Di tengah kehidupan masyarakat yang tampak religius, kita sering menyaksikan pemandangan yang membingungkan.

Ada orang yang rajin beribadah:

  • Wajahnya selalu tampak di masjid,
  • Lisannya penuh dengan zikir dan doa,
  • Penampilannya begitu agamis, bahkan disegani.

Namun di balik itu semua:

  • Ia melakukan praktik riba dan menjadi rentenir,
  • Memeras orang kecil dengan utang yang mencekik,
  • Menerima dan memberi suap dalam kebijakan,
  • Menindas bawahannya tanpa belas kasih,
  • Dan hidup dalam kesombongan yang mencolok.

Ironisnya, hidupnya tampak makmur luar biasa. Rumahnya megah, mobilnya berganti, bisnisnya lancar, kehormatannya diangkat. Seolah semua ibadahnya “dibayar tunai” oleh Tuhan dengan kemewahan dunia.

Lalu, muncul pertanyaan besar:

Apakah ini tanda berkah dan cinta Tuhan?
Ataukah… justru istidraj yang sedang berjalan perlahan?


🔍 Fenomena Aneh yang Ternyata Biasa: Inilah Istidraj

Istidraj adalah saat Tuhan memberikan kenikmatan demi kenikmatan kepada seorang pendosa—bukan karena cinta, tapi sebagai jebakan yang halus.
Tuhan membiarkan dia naik… dan terus naik… hingga puncak…
lalu menjatuhkannya tanpa peringatan.

“Maka ketika mereka melupakan peringatan yang diberikan kepada mereka, Kami bukakan bagi mereka pintu-pintu semua kesenangan. Hingga ketika mereka bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka saat itu mereka pun terdiam putus asa.”
(QS. Al-An’am: 44)

Istidraj bukan kutukan dalam bentuk musibah. Tapi dalam bentuk nikmat yang memabukkan.


🧠 Ibadah yang Tak Menyentuh Hati

Bisa jadi seseorang tampak religius, tapi sesungguhnya tidak terhubung dengan makna ibadah yang sejati.

  • Ia sholat, tapi hatinya tetap zalim.
  • Ia puasa, tapi tangannya masih merampas hak orang kecil.
  • Ia rajin ke masjid, tapi tak segan menyuap demi proyek atau jabatan.

Inilah wujud ibadah yang tak mencegah kefasikan.
Ibadah yang hanya menjadi rutinitas simbolik, tidak membentuk moral dan tidak menyentuh akhlak.

Rasulullah bersabda:
“Akan datang suatu zaman, manusia tekun sholat, tetapi tidak meninggalkan riba, tidak amanah, dan memakan harta haram.”

Ibadah seperti ini bukan tanda keimanan, melainkan kemunafikan yang dibungkus kesalehan.


💰 Kekayaan, Jika Tak Disertai Kesadaran, Bisa Jadi Racun

Orang fasik yang semakin kaya bukanlah bukti keberkahan.
Sebaliknya, bisa jadi:

  • Tuhan sedang menunda hukuman.
  • Nikmat yang diberikan adalah bentuk penguluran.
  • Hidupnya yang nyaman adalah bentuk istidraj.

“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan adalah tanda bahwa Kami bersegera memberi kebaikan? Tidak! Sebenarnya mereka tidak sadar.”
(QS. Al-Mu’minun: 55–56)

Inilah bentuk paling halus dari azab:
Dibiarkan merasa baik-baik saja padahal sedang dijauhkan dari rahmat-Nya.


⚠️ Tanda-Tanda Istidraj yang Sering Terabaikan

Waspadalah jika:

  • Hidupmu terasa makin sukses, tapi maksiat makin terasa ringan.
  • Ibadahmu banyak, tapi hatimu keras dan egois.
  • Nikmat dunia berdatangan, tapi kebaikan tak bertambah.
  • Kau merasa “beruntung” saat bermaksiat dan tak langsung dihukum.

Ketahuilah, dosa yang tak diiringi teguran, bisa jadi sedang dijadikan jebakan.
Dan istidraj tak terasa sakit… sampai semuanya terlambat.


Penutup: Jangan Tertipu oleh Nikmat Dunia

Jangan terlalu cepat merasa Tuhan ridha hanya karena hidupmu lancar.
Dan jangan menilai keberkahan dari jumlah kekayaan, proyek, atau status sosial.

Barokah itu bukan berapa banyak yang kau punya,
tapi seberapa besar kebaikan yang lahir dari apa yang kau punya.

Ibadah sejati melahirkan kerendahan hati, kejujuran, dan kasih sayang.
Bukan topeng religius yang menyembunyikan keserakahan.

Jika hidup terasa mudah padahal hati jauh dari taat—maka bukan barokah yang sedang menyertai, tapi mungkin… istidraj yang sedang menanti.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment