Antara Awam dan Intelektual: Menakar Kualitas Beragama
Dalam kehidupan beragama, kita sering menyaksikan adanya perbedaan mencolok antara cara beragama orang awam dan kaum intelektual. Perbedaan ini bukanlah soal kasta atau derajat, tetapi menyangkut kedalaman kesadaran, kualitas pemahaman, dan cara menjalani ajaran agama dalam kehidupan nyata.
1. Beragama karena Tradisi vs Beragama karena Kesadaran
Banyak orang awam yang beragama karena faktor keturunan—mereka lahir di lingkungan Muslim, maka otomatis menjadi Muslim. Mereka menjalani agama sebagaimana yang diwariskan, tanpa banyak bertanya dan tanpa menggali lebih dalam. Ini disebut beragama secara tradisional, atau istilah lainnya: “ikut-ikutan.”
Sementara kaum intelektual umumnya melewati fase pencarian: mempertanyakan, membaca, berdiskusi, bahkan berdebat. Dari proses ini, mereka tumbuh menjadi pribadi yang beragama secara sadar, tahu apa yang diyakini dan mengapa mereka meyakininya.
2. Simbolik vs Substansial
Orang awam sering kali lebih fokus pada simbol dan bentuk luar. Misalnya, sibuk dengan penampilan religius, rajin menjalankan ritual, tetapi kadang lalai dalam menjaga kejujuran, amanah, atau sikap sosial. Agama menjadi rutinitas, tapi tidak menyentuh kepribadian.
Sebaliknya, kaum intelektual yang beragama dengan kesadaran biasanya lebih mengedepankan substansi ajaran agama: keadilan, kasih sayang, kebersihan hati, dan tanggung jawab sosial. Ibadah mereka bukan sekadar gerakan, tetapi pancaran dari pemahaman yang mendalam dan refleksi batin.
3. Kerapuhan dan Keteguhan
Beragama tanpa pemahaman mendalam membuat seseorang rentan terhadap kefasikan dan kemunafikan. Di permukaan tampak saleh, namun di dalam bisa menyimpan kelicikan atau kebencian. Sebaliknya, ketika seseorang beragama secara sadar dan utuh, kesalehan menjadi lebih stabil dan tahan uji. Ia tidak hanya taat dalam ibadah, tapi juga tangguh dalam menjaga prinsip saat terjun di tengah masyarakat.
4. Intelektual yang Militan dalam Kebaikan
Kaum intelektual yang tercerahkan secara spiritual memiliki potensi besar untuk menjadi pejuang moral dan agen perubahan sosial. Mereka tidak hanya beragama untuk dirinya, tapi juga berkontribusi membangun masyarakat yang lebih adil, damai, dan beradab. Mereka tidak fanatik buta, tapi militan dalam kebaikan, keberpihakan pada yang lemah, dan perjuangan menegakkan nilai-nilai Ilahiyah.
5. Tapi Ingat: Kejujuran dan Kesungguhan Lebih Utama dari Gelar
Meski demikian, kita tidak boleh meremehkan orang awam. Banyak di antara mereka yang sangat ikhlas dan sederhana, namun memiliki hati yang bersih dan niat yang tulus. Bahkan tidak sedikit orang awam yang amal dan pengabdiannya lebih besar daripada kaum intelektual. Di sisi lain, tidak sedikit intelektual yang justru terjebak dalam ego, merasa paling tahu, bahkan kehilangan rasa takut kepada Tuhan.
Maka yang paling mulia bukanlah siapa yang paling banyak gelar atau paling panjang doanya, tetapi siapa yang paling tulus, paling jujur, dan paling sungguh-sungguh dalam menjalaninya.
Penutup: Meningkatkan Kualitas Beragama
Beragama adalah perjalanan. Dari simbol menuju makna, dari rutinitas menuju kesadaran, dari ikut-ikutan menuju pencarian sejati. Apakah kita orang awam atau intelektual, semua dipanggil untuk meningkatkan kualitas beragama, menjadikannya tidak hanya sebagai ritual, tetapi juga sebagai peta hidup, sumber akhlak, dan kekuatan perubahan.
Mari kita jadikan agama sebagai energi untuk menjadi pribadi yang utuh: yang taat kepada Tuhan, jujur kepada diri sendiri, dan bermanfaat bagi sesama. Karena pada akhirnya, kualitas beragama bukan diukur dari apa yang tampak di luar, melainkan dari seberapa jauh ia mengubah hati dan perbuatan.
By: Andik Irawan