Jambore Pramuka: Ketika Pendidikan Karakter Tergantikan oleh Budaya Konsumtif

Bagikan Keteman :


Jambore Pramuka: Ketika Pendidikan Karakter Tergantikan oleh Budaya Konsumtif

Di tengah gegap gempita perkemahan Pramuka tingkat SD dan SMP yang berlangsung di berbagai daerah, kita menyaksikan pemandangan yang ironis. Arena jambore yang seharusnya menjadi tempat membentuk karakter, menempa kemandirian, dan menanamkan nilai-nilai kepramukaan, justru dipenuhi deretan lapak pedagang makanan, minuman, hingga mainan anak-anak. Suasana perkemahan berubah menjadi seperti pasar malam. Anak-anak asyik jajan, membawa kantong plastik penuh camilan, dan berlalu lalang di antara tenda-tenda sambil memegang es krim atau balon mainan.

Apakah ini masih bisa disebut sebagai pendidikan Pramuka? Atau justru telah terjadi pergeseran nilai yang mengkhawatirkan?

Dari Tempat Pendidikan Menjadi Ajang Pemborosan

Sejatinya, kegiatan perkemahan dalam Pramuka dirancang sebagai sarana pembelajaran yang membentuk karakter: hidup sederhana, mandiri, tahan uji, dan bekerja sama. Perkemahan adalah tempat di mana peserta belajar masak sendiri, membersihkan lingkungan, membangun tenda, dan menyatu dengan alam. Namun kini, semua itu seolah sirna. Anak-anak tak perlu repot memasak karena makanan tinggal beli. Tidak perlu berpikir untuk membuat minuman karena banyak penjaja es dan jus. Bahkan waktu-waktu senggang yang seharusnya untuk diskusi regu atau kontemplasi pribadi, malah diisi dengan aktivitas konsumtif yang melelahkan secara nilai.

Inilah musibah pendidikan karakter dalam bentuk yang sangat nyata. Yang tersisa hanya simbol, sementara ruh dan nilai-nilainya menguap entah ke mana.

Pramuka dan Bahaya Komersialisasi

Masuknya budaya komersial ke dalam lingkungan jambore adalah indikasi kuat terjadinya penyimpangan nilai. Apa yang seharusnya menjadi ajang pendidikan nonformal bertransformasi menjadi ladang ekonomi pragmatis. Pedagang berlomba-lomba meramaikan perkemahan, sebagian panitia mungkin tidak menolak karena alasan pemasukan atau “agar ramai.” Tapi apakah keramaian itu sepadan dengan harga yang harus dibayar: lunturnya nilai-nilai pendidikan?

Pramuka adalah wadah pembentukan watak dan moral. Ia bukan panggung bisnis atau ajang pamer kekayaan. Ketika segala sesuatu menjadi mudah dibeli, maka daya juang, kreativitas, dan kemandirian anak-anak akan merosot drastis.

Siapa yang Bertanggung Jawab?

Kondisi ini seharusnya menggugah kesadaran kita semua — terutama para pembina, panitia, kwartir, guru, dan orang tua. Ketika nilai-nilai luhur Pramuka mulai ditinggalkan, maka ada kegagalan kolektif dalam menjaga marwah pendidikan ini.

  • Pembina yang tidak tegas terhadap penyimpangan nilai, telah membiarkan anak-anak kehilangan pengalaman berharga.
  • Panitia yang lebih mementingkan keriuhan dan pendapatan dari para pedagang telah menukar nilai pendidikan dengan popularitas semu.
  • Orang tua yang memanjakan anak-anak dengan bekal berlebihan dan membiarkan mereka jajan sembarangan turut memperkuat budaya instan dan konsumtif.

Semua pihak perlu instrospeksi dan berani mengatakan: “Cukup. Sudah saatnya kita kembali ke tujuan awal.”

Kembalikan Ruh Pendidikan Pramuka

Perkemahan adalah medan pembentukan jiwa. Di sinilah anak-anak belajar mengenali batas kemampuan diri, mengenali kelelahan dan bangkit darinya, mengenal nilai tanggung jawab dan kepemimpinan. Semua itu tidak akan pernah tercapai jika perkemahan hanya menjadi arena jajan, wisata, dan belanja.

Sudah waktunya kita:

  1. Menata ulang konsep perkemahan, mengembalikannya pada esensi pendidikan karakter.
  2. Membatasi aktivitas dagang dan komersial, agar tidak mendominasi kegiatan.
  3. Memberi pembekalan nilai kepada peserta dan pembina, agar mereka sadar bahwa Pramuka bukan sekadar kegiatan seremonial.
  4. Melibatkan semua pihak secara serius dalam evaluasi dan perbaikan sistemik kegiatan jambore dan perkemahan.

Penutup: Menjaga Warisan Pendidikan yang Mulia

Pramuka bukan milik masa lalu. Ia adalah warisan pendidikan karakter yang sangat relevan di zaman modern yang serba instan. Namun, jika kita biarkan nilai-nilai mulia ini terkikis oleh budaya konsumtif, maka kita sedang menggali kubur bagi masa depan anak-anak kita sendiri.

Jambore seharusnya menjadi tempat anak-anak ditempa, bukan dimanja. Menjadi ajang belajar mandiri, bukan ajang konsumsi. Menjadi sarana pembentukan karakter tangguh, bukan sekadar tempat bersenang-senang.

Mari kita jaga, luruskan kembali arah, dan kembalikan marwah pendidikan Pramuka sebagai garda depan pembentukan generasi berkarakter.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment