“Hidupku yang Kedua”
Bab 1: Merantau, Bukan untuk Kuliah
Di awal langkahku ke Surabaya, kulangkahkan kaki bukan dengan niat kuliah, melainkan sekadar bertahan hidup. Aku mencari kerja, seadanya. Takdir menuntunku membuka warkop gerobak sederhana di sebuah pasar sore Pandegiling. Dari sinilah perjuangan dimulai. Dari gerobak rombong itulah hidupku dipertaruhkan demi secangkir kopi dan mimpi kecil yang diam-diam tumbuh besar.
Bab 2: Warkop Subuh dan Kuliah Pagi
Usai Ashar aku mendorong gerobakku, melayani pembeli hingga menjelang Subuh. Lalu tanpa tidur, pagi-pagi aku jogging sebentar, lalu naik bus kota menuju kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya. Tak banyak yang tahu, aku tidur di dalam bus sambil duduk, hanya untuk menyambung tenaga. Begitu keras hidup waktu itu, namun aku bangga. Karena setiap rupiah untuk kuliahku berasal dari peluhku sendiri.
Bab 3: Takut pada Cinta, Tapi Jodoh Tak Bisa Ditolak
Sejak awal, kutulis dengan besar di dinding kosku: “No Girl Before Sukses.” Sebuah prinsip keras yang kutanamkan untuk menjaga diri dari godaan cinta. Tapi cinta datang bukan dari teman kuliah, melainkan dari seorang gadis sederhana, pelanggan setia warkopku. Ia melihat ketulusanku, bukan penampilanku. Diam-diam ia mencintaiku—dan ketika kuungkapkan isi hatiku, ia menerimaku. Prinsipku berubah: “Rumah tangga dan karir bisa berjalan bersama.”
Bab 4: Rumah Tangga di Tengah Ketidakmapanan
Menikah di usia muda, saat belum mapan, adalah pilihan yang berat namun penuh keyakinan. Kami hidup sangat sederhana. Anakku lahir ketika aku baru genap 24 tahun. Dalam benakku hanya satu tekad: aku akan terus bekerja keras, agar anak dan istriku tidak merasa kekurangan kasih sayang dan tanggung jawab.
Bab 5: Sakitku, Titik Nol Kehidupan
Saat anakku baru 5 bulan, tiba-tiba tubuhku lumpuh dalam arti sebenarnya. Tubuh membungkuk ekstrim, tak bisa duduk atau berbaring. Hanya bisa “melungker” dalam posisi meringkuk. Satu malam paling berat adalah ketika nyeri menyerang dari Maghrib hingga Subuh tanpa henti. Doa menjadi satu-satunya pelarian. Aku berkata dalam hati, “Tuhan, ini dari-Mu, ihlas kuterima…”
Bab 6: Melawan dengan Zikir, Bukan Klenik
Banyak yang menyarankan pengobatan mistis, mengatakan aku terkena “buatan orang.” Tapi aku menolak. Aku memilih bertarung lewat dzikir. Aku putuskan tidak tidur selama tiga hari, hanya berdzikir terus-menerus. Hasilnya? Mimpi aneh yang menjadi titik balik: setelah bangun, aku bisa bergerak, mululet, sedikit demi sedikit. Aku sembuh. Bukan karena klenik, tapi karena ketauhidan. Inilah hidupku yang kedua.
Bab 7: Hidupku yang Kedua
Setelah setahun lumpuh, aku sembuh. Kini hidupku kuanggap dimulai dari nol. Fokusku: menanggung tanggung jawab sebagai suami dan ayah. Modal dari seorang teman menjadi pijakan awal untuk membuka kedai kopi lagi—kali ini di Terminal Benowo. Kemudian pindah ke Simo Katrungan Kidul dan bertahan lima tahun. Akhirnya, aku pulang kampung, mengabdi menjadi perangkat desa di tanah kelahiran.
Bab 8: Damai di Desa, Bersama Keluarga Kecil
Tinggal di desa membawa ketenangan. Bersama istri dan anak, aku bisa membangun relasi yang kuat. Aku dekat dengan anakku, bisa mendidiknya langsung. Suasana desa, dengan sahabat-sahabat lama, kerabat, dan tetangga yang ramah, menjadi penguat langkahku. Ekonomi perlahan stabil. Rumah kecil berhasil kami bangun sendiri.
Bab 9: Dari Hinaan Menuju Sanjungan
Saat di titik terendah, aku kenyang dihina, dicemooh, bahkan oleh orang-orang dekat. Tapi aku memilih sabar sebagai perisai. Tuhan melihat, dan membalas. Kini hidup berubah. Rumah sudah kami miliki sendiri, anak tumbuh dalam pelukan kasih dan pendidikan. Mereka yang dulu menghina, kini menyanjung. Tapi aku tidak sombong. Hanya bersyukur dan terus berdoa.
Bab 10: Penutup – Tuhan Tidak Pernah Tertidur
Semua episode hidupku, dari warkop gerobak, kuliah, jatuh cinta, menikah muda, lumpuh total, hingga bangkit lagi—adalah bukti satu hal: Tuhan tidak pernah tidur. Setiap usaha tidak akan sia-sia, setiap luka tidak akan dibiarkan menganga selamanya. Hanya satu pesan untuk anakku kelak: jadilah manusia mandiri, jangan takut sengsara, dan jangan pernah menyerah dalam hidup.
By: Andik Irawan