Sore itu, langit menjelang Maghrib mulai merunduk kelabu. Di luar kamar, suara azan menggema dari masjid kecil dekat rumah. Tapi di dalam kamarku yang terkunci rapat, dunia terasa lain. Ada pertempuran yang sedang berlangsung. Bukan perang antar manusia, tapi pertempuran antara rasa sakit dan kekuatan jiwa.
Entah apa yang sedang terjadi dengan tubuhku. Entah sakit apa yang sebenarnya tengah menggerogoti. Tapi yang jelas, rasa nyeri itu hadir dengan dahsyat—menyiksa di titik-titik yang paling tidak terbayangkan: tulang tungging dekat tulang ekor, sepanjang jalur paha hingga betis kiriku. Bukan nyeri biasa. Ini adalah nyeri yang “cekot-cekot” tiada henti. Setiap detiknya seperti dihujam paku panas yang tak bisa dicabut.
Aku mencoba menghadapinya dengan mengganti posisi tubuh—berbaring ke kiri, ke kanan, telungkup, meringkuk, terlentang, setengah duduk. Tapi tak ada satu pun yang bisa memberiku jeda. Tidak satu detik pun. Aku seperti udang yang mecitat keno, mecitat kene—menggelepar-gelepar ke sana kemari, dalam kamar sempit yang jadi saksiku malam itu.
Semua pintu kututup. Bukan hanya pintu kamar, tapi juga pintu kesedihan agar tidak bocor keluar. Aku tak ingin ibu dan adik-adikku yang masih kecil tahu penderitaan yang sedang kuhadapi. Biarlah aku sendiri. Biarlah mereka tetap tenang dalam ketidaktahuan. Cukup aku dan Tuhanku yang tahu malam itu.
Dan begitulah malam itu berlangsung. Dari Maghrib hingga Subuh. Aku tak bisa tidur. Bahkan untuk sekadar bernafas pun sulit. Tak ada ruang untuk sekadar tenang. Tapi justru di tengah kedahsyatan rasa sakit itulah, aku menemukan sesuatu yang lebih besar: keteguhan hati.
Saat tubuhku remuk dihantam nyeri, aku justru merasakan satu hal memenuhi jiwaku: Ridha.
Ya, aku ridha.
Aku tidak memprotes. Aku tidak berkeluh-kesah. Aku tidak menyalahkan siapapun. Tidak ada satu pun kata makian, gerutu, atau keluhan keluar dari lidahku malam itu. Karena akidahku sudah menetapkan: sakit ini bukan hukuman, melainkan ujian. Dan ujian, sejatinya adalah panggilan kemuliaan dari Tuhan bagi hamba-Nya yang dipilih.
“Tuhan, ini dari-Mu. Aku terima. Aku ridha. Jika ini jalan-Mu untuk mengampuniku, maka biarlah aku lewati seluruhnya. Tapi kelak saat aku datang menghadap-Mu, ampunilah aku…”
Itu doaku. Itu mantraku. Itu penguatku. Kalimat itu terus kuucapkan berulang-ulang hingga Subuh datang. Hingga air mataku jatuh sendiri tanpa kuperintah. Tangisan bukan karena tak sanggup menahan sakit, tapi tangisan karena hatiku dipenuhi oleh rasa yakin—yakin bahwa ini semua bukan sia-sia. Bahwa penderitaan ini bukan kekalahan. Bahwa malam nyeri ini adalah malam penghapusan dosa. Malam pengguguran kesombongan. Malam penyemaian taman-taman surgawi.
Dan pagi pun datang. Fajar menyingsing membawa cahaya ke dalam kamar. Aku masih hidup. Masih bernapas. Masih menangis. Tapi bukan menangis karena kalah. Aku menangis karena telah berhasil menjalani malam paling berat dalam hidupku dengan tetap menjaga akidahku tegak berdiri.
Malam itu bukan hanya malam penderitaan. Malam itu adalah malam kemuliaan, ketika aku tidak sekadar sakit, tapi aku sedang beribadah dalam sakit, sedang berjuang dalam diam, sedang bertemu Tuhanku dalam penghambaan total.
Jika malam itu Tuhan menerimaku sebagai hamba-Nya yang ridha, yang sabar, yang ikhlas, maka biarlah malam itu menjadi satu saksi mulia yang kelak akan kupeluk erat saat bertemu dengan-Nya.
By; Andik Irawan