Melangkah dengan Satu Kaki – Kala Logika Menyerah, Spiritualitas Berdiri

Bagikan Keteman :


Melangkah dengan Satu Kaki – Kala Logika Menyerah, Spiritualitas Berdiri

Hidupku yang kedua dimulai setelah satu tahun penuh aku jatuh dalam ujian yang begitu berat—sakit yang menyiksa lahir dan batin. Satu tahun aku berada di titik paling rendah dalam hidup. Saat tubuh tak kuasa berdiri, pikiran pun tak mampu melompat jauh ke masa depan. Semua kabur. Semua sunyi. Tapi dalam kejatuhan itu, ada satu cahaya kecil yang tak pernah padam: keyakinan bahwa Tuhan belum selesai denganku.

Setelah sakit itu berakhir, aku seperti terlahir kembali. Meski tubuh masih belum sekuat dulu, semangat untuk bangkit terus membara. Aku memutuskan untuk mencoba berdiri kembali, pelan-pelan, tak perlu muluk-muluk. Aku mulai dari apa yang mampu aku lakukan: membuka usaha kecil, berdagang sederhana, sebuah kedai warkop.

Dari luar, dunia wirausaha terlihat seperti ladang emas. Tapi ketika aku benar-benar masuk ke dalamnya, aku melihat sesuatu yang tak terlihat oleh mata awam: persaingan ketat, permainan curang, bahkan godaan-godaan mistik yang menyaru sebagai ‘jalan pintas’ kesuksesan. Tak jarang aku ditawari penglaris, pesugihan, dan sejenisnya—semuanya bertentangan dengan keyakinan yang sudah terpatri kuat sejak kecil dalam hatiku.

Namun hatiku menolak semua itu. Dalam hidup, aku sudah berjanji pada diriku sendiri: lebih baik gagal dengan akidah yang lurus daripada berhasil dengan cara yang menyimpang.

Karena itulah, kedai warkop yang kubuka benar-benar apa adanya. Modal kecil. Peralatan sederhana. Tanpa penglaris. Tanpa tipu daya. Aku hanya bersandar pada kerja keras, kejujuran, dan doa.

Tapi kehidupan tak langsung bersahabat. Di lokasi pertama, usahaku tak berkembang. Lalu aku pindah ke tempat lain. Hasilnya tak jauh berbeda. Bertahun-tahun berjalan, usahaku seperti jalan di tempat. Sementara teman-teman lain yang memulai bersama dari nol, perlahan mulai menyalip. Beberapa di antara mereka sukses besar, usahanya berkembang pesat.

Aku sempat goyah. Bertanya dalam hati: Apa mungkin memang aku tak punya talenta di bidang usaha? Apa seharusnya aku berhenti dan mencari jalan lain?

Namun, seperti saat aku sembuh dari sakit dulu, satu hal yang tidak pernah aku lepaskan adalah keyakinan. Dalam logika manusia, mungkin jalan ini sudah mentok. Tapi aku percaya, ketika akal sudah lelah melangkah, maka spiritualitas adalah kaki kedua yang akan menopang kita tetap berjalan.

Maka aku pun bersandar penuh pada ibadah. Setiap sela waktu di tempat usahaku, aku gunakan untuk membaca Al-Qur’an. Saking seringnya, beberapa surat panjang pun tanpa kusadari berhasil kuhafal. Tahajud menjadi teman di sunyi malam. Dzikir menjadi nafas saat ragu dan cemas datang. Aku yakin, meski usaha lambat, selama aku tidak menyimpang dari jalan-Nya, Allah pasti akan menunjukkan jalan.

Pernah suatu hari, seorang teman mengejekku dengan nada sinis:

“Kamu itu sok agamis. Tapi lihat hidupmu, tetap saja begitu-begitu.”

Aku tersenyum, tak marah. Tapi aku jawab dengan tenang dan mantap:

“Hari ini mungkin aku seperti ini. Tapi semoga umur kita panjang. Dua puluh tahun ke depan, mari kita lihat, seperti apa hasil dari ilmu dan akidah kita masing-masing.”

Aku tidak sedang menyombongkan diri. Tidak. Tapi aku hanya sedang menyatakan satu hal: bahwa aku masih bisa berjalan, walau hanya dengan satu kaki—kaki spiritualitas.

Dan kini, dua puluh tahun telah berlalu.

Alhamdulillah. Aku bersyukur. Allah tidak pernah tidur. Ia benar-benar menolong hamba-Nya yang terus bertahan dalam jalan-Nya. Hidupku kini lebih dari cukup. Bahagiaku sederhana, tapi dalam. Hidupku tenang. Rumah tanggaku hangat. Dan di mataku, itu sudah lebih dari cukup untuk disebut keberhasilan.

Lalu bagaimana dengan teman yang pernah mengejekku itu? Entahlah. Aku tak pernah lagi mendengar kabarnya. Tapi aku doakan semoga ia pun dalam keadaan baik dan bahagia.

Untuk anak-anakku, inilah pesan hidupku: Hadapilah kehidupan ini dengan dua kaki. Kaki pertama adalah logika dan rasionalitas—gunakan akal pikiranmu dengan sebaik-baiknya. Tapi jika suatu hari, kakimu yang satu itu letih dan tak mampu lagi melangkah, maka jangan berhenti. Pakailah kaki spiritualmu. Berdirilah di atas ibadah, doa, dan tawakal. Dengan dua kaki itulah, hidupmu akan kokoh dan gagah, tak mudah tumbang oleh apapun.

Dan jika satu kaki saja yang tersisa, berjalanlah tetap. Karena Tuhan tak akan pernah membiarkan hamba-Nya sendirian. Tidak. Tak akan pernah.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment