Saat usiaku masih belasan, tepatnya ketika aku duduk di bangku SMP, aku adalah seorang remaja yang mungkin berbeda dari kebanyakan teman seumuranku. Aku suka ibadah. Seringkali aku berlama-lama dalam doa setelah sholat, membaca wirid-wirid yang kuhafal dari buku atau dari orang tua. Ada ketenangan tersendiri ketika berzikir dalam diam, seolah ruh ini tersambung pada sesuatu yang lebih besar dari dunia.
Salah satu sahabatku kala itu bernama Mukhlas. Kami sangat dekat, nyaris tak terpisahkan. Tidur di rumahnya, belajar bersama, main bersama, bahkan duduk di bangku yang sama di kelas. Bersamanya, hidupku diisi dengan banyak warna — termasuk warna spiritualitas yang kelam namun penuh pelajaran.
Satu hari, kami menemukan sebuah buku tua berjudul Mujarobat. Di dalamnya berisi doa-doa, wirid, dan amalan yang diklaim punya kekuatan luar biasa. Dari semua isi buku itu, doa Nurbuat adalah yang paling menarik perhatian kami. Doanya panjang, tapi keutamaannya membuat hatiku bergetar: perlindungan dari marabahaya, kemuliaan batin, dan kekuatan spiritual yang luar biasa.
Tanpa pikir panjang, aku menghafalnya dan menjadikannya wirid harian. Setiap selesai sholat lima waktu, aku baca. Dan khusus malam Jumat, aku membacanya berulang-ulang setelah tahajud, hingga larut malam. Aku lakukan itu dengan keyakinan penuh, tanpa bimbingan siapa pun, hanya berdua bersama niat yang lurus namun lugu.
Waktu berjalan, dan wirid itu menjadi rutinitas selama lebih dari satu tahun setengah. Hingga pada suatu malam, saat tubuhku demam ringan, keanehan pertama terjadi.
Pukul satu dini hari, aku belum bisa tidur. Tubuh lelah, kepala berat, tapi mata enggan terpejam. Ketika akhirnya aku terlelap sejenak, aku terbangun tiba-tiba dengan perasaan sangat aneh — seperti ada seseorang baru saja membaringkan tubuhnya di sampingku. Aku mencoba mengabaikannya. “Mungkin hanya bunga tidur,” kataku dalam hati.
Namun tak lama, aku tidur kembali, dan terbangun lagi dengan rasa kaget luar biasa. Sebuah bola api, sebesar kamar tidurku, bergulir masuk dengan cepat! Seolah membakar udara, menghentak ruang, hingga aku terdorong ke sudut ruangan dan tak bisa bergerak. Keringat dingin bercucuran, namun aku masih mencoba menenangkan diri, lalu kembali tidur.
Dan di situlah mimpi mengerikan itu dimulai.
Aku melihat sebuah gua gelap, dipenuhi manusia bertubuh besar, kekar, tinggi menjulang, berkepala gundul dengan rambut dikuncung ke atas — mirip tentara kuno dari zaman kerajaan. Mereka diam tak bergerak, namun ada satu di antara mereka yang berhasil keluar dari gua. Tiba-tiba, aku melihat bintang jatuh, menghantam bumi di belakang rumahku. Sekejap kemudian, makhluk itu berubah menjadi raksasa raksasa, berdiri tinggi — lututnya setinggi atap rumahku!
Aku melihatnya dengan kepala menengadah, tubuhku bergetar hebat, karena makhluk itu menginjak-injak rumah kami, seolah hendak merobohkannya. Aku terbangun dalam ketakutan, namun anehnya aku masih melihatnya dalam keadaan sadar — tidak dalam mimpi. Lantai rumah bergoyang, atap naik turun seperti hendak pecah. Aku berteriak histeris:
“Kiamat! Kiamat!”
Ibu dan adik-adikku terbangun. Kami semua keluar rumah dengan rasa panik. Aku hampir tidak bisa bicara, tubuh gemetar hebat. Suasana menjadi hening kembali hanya setelah adzan Subuh berkumandang. Dan saat itu, raksasa itu menghilang, entah ke mana.
Malam itu, Pakde-ku menegurku. Beliau berkata pelan tapi tegas:
“Nak, jangan amalkan doa-doa semacam itu tanpa guru. Ada hal-hal yang tidak kamu pahami. Bisa celaka… bahkan bisa gila.”
Aku hanya terdiam.
Sejak saat itu, aku berhenti membaca doa Nurbuat, dan menggantinya dengan sholawat kepada Nabi, amalan yang lebih lembut dan damai. Trauma itu masih membekas hingga kini. Tapi bukan sebagai ketakutan, melainkan sebagai peringatan — bahwa dalam dunia spiritual, niat baik tak cukup. Kita butuh ilmu dan bimbingan, agar amalan menjadi cahaya, bukan bara api yang membakar jiwa.
Kini aku sadar, agama dan spiritualitas bukan sekadar hafalan doa, tapi juga kedewasaan dalam memaknai laku batin. Doa bukan mantra. Ia adalah penghubung antara manusia dengan langit, dan tak semua tali penghubung bisa ditarik sembarangan. Kadang, jika ditarik tanpa tuntunan, yang turun bukan berkah, tapi bala.
By: Andik Irawan