Dulu, di sisi timur rumah ibuku, terbentang sebuah empang yang dalam — atau orang-orang kampung menyebutnya “kalen”. Di sana airnya tenang tapi dalam, penuh ikan gabus, betik, dan sepat. Sekelilingnya semak belukar yang tak terurus, menambah kesan angker dan sunyi. Bagi sebagian orang, tempat itu bukan hanya habitat ikan, tapi juga dipercaya sebagai hunian makhluk halus yang sudah lama berdiam.
Namun, waktu terus berjalan. Aku memutuskan untuk menjadikan tanah itu sebagai tempat tinggalku. Ratusan colbak tanah uruk kudatangkan, perlahan-lahan kusulap empang itu menjadi fondasi kehidupan baru. Di atas tanah yang dahulu sunyi dan penuh misteri itu, kini berdiri rumah tempat kami sekeluarga berlindung dari terik dan hujan.
Namun jauh dalam hatiku, ada sebuah tanya yang tak pernah benar-benar sirna. Adakah “penghuni lama” di tanah ini? Adakah sesuatu yang tak terlihat, tapi tetap hadir? Batin kecilku penuh praduga. Tapi sebagai seorang muslim, aku percaya: hanya kepada Allah aku bersandar.
Maka sejak hari pertama kami menghuni rumah ini, aku mengambil keputusan yang tak bisa ditawar: setiap hari, aku, istriku, dan anak-anakku harus mengaji bersama. Terutama di pagi dan sore hari. Kami membiasakan membaca Surat Al-Baqarah, membentengi rumah dengan dzikir ma’tsurat, dan menegakkan keyakinan bahwa rumah yang dipenuhi dengan lantunan ayat Allah akan selalu dijaga dan diberkahi oleh-Nya.
Hari-hari berlalu, hingga tak terasa sudah lebih dari setahun kami tinggal di sana. Dan suatu malam, kejadian itu terjadi…
Dalam tidurku yang lelap, aku bermimpi. Aku melihat dengan jelas — seolah nyata — area belakang rumah ibuku, rumahku, hingga ke barat rumah pakdeku. Tanahnya berguncang. Semak belukar, pohon-pohon kecil, dan beberapa bambu yang tertancap — semuanya bergerak-gerak tak tentu arah. Bumi seperti bergelombang, seperti akan menghempaskan sesuatu yang besar keluar dari perutnya.
Lalu aku melihatnya…
Sosok itu berdiri tegak. Tinggi besar. Seluruh tubuhnya ditutupi bulu hitam pekat. Kukunya panjang, tajam, melengkung menakutkan. Kedua matanya menyala merah seperti bara api. Gigi-giginya bertaring panjang, melingkar-lingkar. Nafasnya berat. Erangannya menggetarkan. Sosok itu sangat nyata, sangat dekat. Dalam hati aku bergumam: “Inikah Gandaruwo yang banyak orang bicarakan itu?”
Ia berdiri seperti ingin menunjukkan keberadaannya. Lalu perlahan, tubuh besar itu mulai menyusut. Mengecil, mengecil… hingga berdiri di ambang pintu kamarku. Matanya yang merah menatap tajam ke arahku. Suara erangannya masih bergema… dan aku terbangun dengan napas tersengal dan tubuh dingin.
Kupandangi langit-langit kamar. Mimpi apa ini? Kenapa begitu nyata? Tapi hatiku berkata pelan: “Mungkin ia berpamitan… mungkin ia tahu rumah ini kini telah dijaga oleh kalam Allah.”
Sejak malam itu, tak pernah ada kejadian yang mengganggu. Tapi bukan berarti aku menjadi lengah. Justru keyakinanku semakin kuat. Sudah hampir sepuluh tahun kini kami tinggal di sini, dan setiap hari kami terus mengaji. Ayat demi ayat, doa demi doa, menjadi pagar tak kasat mata yang melindungi kami.
Bagi siapa pun yang tinggal di tempat baru, jangan pernah takut pada hal-hal yang tak terlihat. Tak perlu mencari-cari cara mistik. Bersandarlah kepada Allah. Jadikan Al-Qur’an sebagai cahaya rumahmu, sebagai pelindung keluargamu. Yakinlah — jika Allah bersama kita, tidak ada makhluk jahat di langit dan bumi yang bisa mencelakai kita.
Dan di rumah ini, aku telah membuktikannya.
By: Andik Irawan