Di banyak lingkungan, dakwah kerap dimaknai sebatas ceramah dan pengajian. Masyarakat berkumpul, mendengarkan ustaz atau penceramah, lalu pulang dengan tambahan informasi dan wawasan keagamaan. Namun, pertanyaannya: Apakah dakwah hanya berhenti di situ?
Jika kita jujur menengok realitas, kita menemukan jurang yang menganga. Inti dakwah adalah memenangkan hati manusia—membuat orang merasa dirangkul, dipedulikan, dan dibimbing menuju kebaikan. Namun yang terjadi sering kali justru sebaliknya: di tengah masyarakat, yang tampak bukan persatuan dan kasih sayang, melainkan perpecahan, keangkuhan, dan pembiaran.
Tidak ada sapaan hangat untuk fakir dan miskin. Tidak ada tangan yang terulur untuk mereka yang menderita. Tidak ada program orang tua asuh bagi anak-anak yatim. Yang ada hanyalah pembiaran terhadap kemaksiatan, riba, suap, dan berbagai penyakit sosial lainnya. Dakwah yang semestinya menjadi cahaya, berubah menjadi sekadar suara yang menggema lalu hilang di udara.
Dakwah: Lebih dari Sekadar Pidato
Islam mengajarkan bahwa dakwah adalah mengajak manusia kepada kebaikan dengan cara yang penuh kebijaksanaan (hikmah), nasihat yang menyentuh (mau’izhah hasanah), dan dialog yang santun (mujadalah billati hiya ahsan).
Rasulullah ﷺ tidak hanya berdiri di mimbar. Beliau hadir di tengah penderitaan umat—mengunjungi yang sakit, menghibur yatim, membantu tetangga, bahkan yang bukan Muslim sekalipun.
Dengan kata lain, dakwah bukan hanya soal menyampaikan ayat, tapi menghidupkan ayat dalam perilaku nyata.
Fenomena “Informasi Tanpa Transformasi”
Pengajian yang kaya materi tapi miskin aksi sosial melahirkan masalah serius:
- Ilmu tidak mengubah perilaku.
- Dakwah terasa elitis, hanya dinikmati oleh yang sudah paham.
- Kelompok miskin, terpinggirkan, atau bahkan pelaku maksiat, tidak merasakan sentuhan kasih.
Inilah yang membuat dakwah kehilangan ruhnya: tidak ada rasa aman, tidak ada rasa cinta, tidak ada bukti nyata dari nilai-nilai yang diajarkan.
Mengapa Terjadi?
- Paradigma sempit tentang dakwah — dianggap hanya ceramah, bukan pelayanan sosial.
- Kurangnya teladan sosial dari tokoh agama.
- Budaya sektarian — sibuk pada kelompok sendiri, abai pada penderitaan yang lain.
- Ketiadaan sistem dakwah berbasis aksi — tidak ada program berkelanjutan untuk membantu yang membutuhkan.
Menghidupkan Kembali Dakwah yang Menyentuh Hati
Kemenangan dakwah bukan terletak pada banyaknya jamaah yang hadir di masjid, tetapi pada hati-hati yang luluh karena merasakan kasih sayang Islam.
Dakwah sejati adalah ketika seorang miskin berkata:
“Aku mencintai Islam, karena Islam hadir untukku, peduli padaku, dan mengangkatku.”
Untuk itu, dakwah perlu bergeser dari ceramah sentral menjadi gerakan sosial. Bentuknya bisa beragam:
- Program beasiswa anak yatim.
- Pelatihan kerja untuk pemuda pengangguran.
- Layanan kesehatan gratis bagi warga miskin.
- Pendampingan korban kekerasan atau bencana.
- Kunjungan rutin ke rumah-rumah dhuafa.
Penutup
Jika dakwah hanya berhenti pada kata-kata, ia akan kehilangan kekuatannya. Tetapi jika dakwah menyentuh hati, merangkul yang menderita, dan menghadirkan solusi nyata bagi masalah masyarakat, maka ia akan menjadi cahaya yang memandu jalan.
Sebab sesungguhnya, dakwah adalah cinta yang bergerak, bukan sekadar suara yang terdengar.
By: Andik Irawan