Kesadaran Sejati: Batu Pertama dalam Pondasi Akidah Manusia
Setiap manusia dikaruniai sesuatu yang sangat berharga oleh Tuhan — akal pikiran. Ia bukan sekadar alat berpikir atau menimbang untung rugi, melainkan cahaya yang mampu menuntun manusia mengenal kebenaran tertinggi, yaitu keberadaan Tuhan.
Manusia yang menggunakan akalnya dengan jernih, bebas dari kesombongan dan hawa nafsu, pasti akan sampai pada satu kesimpulan yang tak terbantahkan: Tuhan itu ada. Bukan karena doktrin, bukan pula karena ikut-ikutan, melainkan karena kesadaran murni yang tumbuh dari perenungan dan pengamatan mendalam terhadap kehidupan dan alam semesta.
Langit yang bertabur bintang, bumi yang berputar dengan keteraturan, hukum alam yang presisi dan harmonis — semua itu bukan kebetulan. Ia menjadi tanda-tanda bagi akal yang berpikir, bahwa di balik setiap ciptaan pasti ada Sang Pencipta. Kesadaran ini merupakan titik awal perjalanan spiritual manusia, batu pertama dalam pondasi akidah yang sejati.
Kesadaran Bukan Sekadar Pengakuan
Namun sayangnya, banyak manusia yang hanya mengaku beriman, tanpa benar-benar menyadari keimanannya.
Mereka mengenal Tuhan karena diajarkan, bukan karena disadari; mereka beragama karena diwariskan, bukan karena dipilih dengan kesadaran penuh.
Akibatnya, iman menjadi lemah dan rapuh. Ia berdiri di atas dasar ikut-ikutan, bukan atas fondasi pengetahuan dan kesadaran. Padahal, iman sejati bukan sekadar ucapan lisan, tetapi kesadaran mendalam dalam hati dan pikiran bahwa Tuhan sungguh nyata adanya.
Kesadaran inilah yang mengubah segalanya.
Ia menumbuhkan kerendahan hati, menghapus kesombongan, menenangkan jiwa yang gelisah, dan menuntun manusia menjalani hidup dengan arah yang jelas.
Tanpa kesadaran ini, agama hanya menjadi rutinitas tanpa makna, dan ibadah hanyalah gerak tubuh tanpa ruh.
Pondasi Religi yang Kokoh
Mengenal bahwa Tuhan ada adalah pondasi pertama dari segala keyakinan.
Sebelum memahami siapa Tuhan dan bagaimana cara beribadah kepada-Nya, manusia harus terlebih dahulu yakin sepenuh hati bahwa Tuhan benar-benar ada dan nyata dalam kehidupan ini.
Kesadaran ini menjadi kunci bagi terbukanya pintu hidayah. Karena manusia yang yakin dengan kesadaran sejati akan senantiasa mencari kebenaran, bukan sekadar membenarkan apa yang telah diwarisi.
Apabila pondasi kesadaran ini lemah, maka keimanan mudah goyah.
Ketika diuji, ia akan ragu.
Ketika dihadapkan pada pemikiran modern yang menantang agama, ia akan kebingungan.
Karena ia tidak memiliki akar kesadaran yang kuat — hanya ranting pengakuan yang mudah patah diterpa angin zaman.
Hidup Tanpa Petunjuk
Manusia yang tidak benar-benar menyadari keberadaan Tuhan sesungguhnya berjalan dalam kegelapan, meski ia membawa lentera agama di tangannya.
Ia mungkin menjalankan ritual, tetapi hatinya kosong.
Ia mungkin berdoa, tetapi tidak merasa berbicara kepada Zat yang hidup.
Ia mungkin beragama, tetapi tanpa arah dan makna.
Tanpa kesadaran yang sejati, manusia kehilangan bimbingan ilahi.
Padahal, bimbingan Tuhan hanya diberikan kepada mereka yang mencari dan menyadari-Nya dengan tulus.
“Allah menunjuki siapa yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah: 213)
Kesadaran yang Menghidupkan Iman
Ketika seseorang benar-benar sadar bahwa Tuhan itu ada, seluruh hidupnya akan berubah.
Ia tidak lagi sombong karena tahu dirinya makhluk yang lemah.
Ia tidak lagi takut kehilangan karena tahu semua berada dalam genggaman Tuhan.
Ia tidak lagi gelisah karena percaya setiap peristiwa adalah bagian dari kehendak-Nya.
Kesadaran inilah yang menyalakan cahaya dalam hati manusia, cahaya yang menuntunnya kepada kebenaran sejati.
Dan dari sinilah iman yang sejati tumbuh — iman yang tidak bisa diguncang oleh logika dunia, ujian hidup, atau bisikan hawa nafsu.
Penutup: Jalan Menuju Tuhan
Kesadaran akan keberadaan Tuhan adalah pintu pertama menuju cahaya iman.
Barangsiapa melewati pintu ini dengan jujur, tulus, dan penuh pencarian, maka Tuhan akan menuntunnya semakin dekat kepada kebenaran.
Namun siapa yang hanya berdiri di depan pintu sambil meniru-niru orang lain, ia akan tetap berada dalam gelap, meski merasa beragama.
Karena pada akhirnya, agama yang sejati bukanlah hasil warisan, tetapi hasil kesadaran.
Dan kesadaran itu lahir dari akal yang jernih dan hati yang bersih — dua anugerah yang jika digunakan dengan benar, akan menuntun manusia kepada Tuhan yang benar.
By: Andik Irawan