Ketika Amal Jadi Gaya Hidup Mewah: Potret Orang Kaya yang Terlalu Bangga dengan Kebaikannya

Bagikan Keteman :

💰 Ketika Amal Jadi Gaya Hidup Mewah: Potret Orang Kaya yang Terlalu Bangga dengan Kebaikannya

Zaman sekarang, jadi orang kaya itu bukan cuma soal harta — tapi juga soal bagaimana cara memamerkannya dengan elegan.
Ada yang pamer lewat mobil, ada yang lewat rumah, dan yang lebih halus: pamer lewat kebaikan.

Mereka tak lagi sekadar ingin disebut kaya, tapi ingin dikenal sebagai orang kaya yang dermawan, religius, dan “rendah hati” — meski kenyataannya, kata “rendah hati” itu cuma hiasan di bibir, bukan di dada.


🏠 Amal yang Butuh Penonton

Ada orang kaya yang kalau bantu orang kecil, tak bisa tanpa disaksikan orang banyak.
Kalau memberi sembako, selalu ada kamera.
Kalau menyantuni anak yatim, selalu disertai sambutan panjang dan dokumentasi.

Ia akan berkata:

“Kita jangan pelit berbagi, rezeki itu titipan Allah.”

Tapi dalam hatinya terselip keinginan: semoga banyak yang lihat, semoga banyak yang tahu aku dermawan.

Akhirnya, kebaikan bukan lagi ibadah, tapi pertunjukan sosial.
Yang miskin jadi alat, yang memberi jadi bintang utamanya.


🕌 Masjid dan Nama Besar

Banyak pula yang membangun masjid, tapi lebih niat memasang namanya di tembok daripada mencari ridha Allah.
Plakatnya besar: “Dibangun dari wakaf Haji Fulan dan keluarga.”
Seolah-olah Tuhan takkan mencatat amal itu jika namanya tak tertulis di dinding.

Lalu saat masjid sudah berdiri, ia duduk di saf depan dengan wajah puas,
seakan berkata dalam diam:

“Kalau bukan karena saya, masjid ini takkan ada.”

Padahal yang membangun bukan dia, tapi Allah yang memberi rezeki untuknya.
Hanya saja, kesadaran itu sering hilang di antara tepuk tangan jamaah dan pujian masyarakat.


📸 Sedekah yang Difoto, Bukan Disembunyikan

Ada juga yang setiap kali berbuat baik, langsung unggah di media sosial:
foto memberi amplop, menyerahkan kursi roda, membagi nasi kotak,
dengan caption panjang:

“Semoga ini bisa menjadi inspirasi bagi teman-teman untuk berbagi.”

Tapi yang tampak justru pose, bukan peduli.
Yang besar bukan niatnya, tapi watermark logonya.
Sementara wajah orang miskin yang ditolong jadi pajangan, bukan penghormatan.

Lucunya, jika suatu kali ia menolong tanpa sempat direkam,
ia merasa seperti kehilangan sesuatu — bukan pahala, tapi viewers.


💎 Syukur yang Terlalu Berisik

Ada pula tipe yang suka memamerkan kekayaan dengan cara “religius”.

“Alhamdulillah, rezeki Allah memang luar biasa, baru beli rumah kedua.”
“Masya Allah, Allah kasih amanah baru: mobil baru.”

Kata-kata indah itu terdengar seperti syukur, tapi sebenarnya pamer yang sopan.
Ia tak sedang memuji Allah, ia sedang memperlihatkan betapa sukses dirinya.

Padahal syukur sejati itu tidak berisik.
Ia cukup dengan hati yang menunduk dan doa yang pelan:

“Ya Allah, Engkau terlalu baik padaku.”


🎓 Nasihat yang Bernada Tinggi

Ada juga yang senang menasihati orang miskin dengan nada seolah ia lebih dekat dengan Tuhan:

“Kamu harus rajin, jangan tidur terus. Saya aja jam 12 malam masih ngatur usaha.”
“Rezeki itu datang ke orang yang bangun pagi, bukan yang males.”

Sekilas terdengar memotivasi, tapi sebenarnya menyindir.
Ia lupa bahwa tidak semua orang miskin malas, dan tidak semua orang kaya rajin — sebagian hanya beruntung lahir di tempat yang tepat.


🕊️ Ketika Amal Hilang Ruhnya

Begitulah nasib amal jika hati sudah dipenuhi rasa ingin dipuji.
Yang dulu sakral, kini jadi simbol prestise.
Yang seharusnya untuk Allah, kini jadi alat menaikkan citra diri.

Dan lucunya, mereka masih berkata:

“Saya nggak butuh pengakuan dari manusia.”
Padahal, kalau tidak diakui, wajahnya murung dan statusnya berhenti update.


🌹 Penutup: Antara Amal dan Kesombongan

Allah tidak pernah melarang kita kaya.
Tapi Allah membenci ketika kekayaan menjadikan seseorang merasa lebih dari yang lain.
Membantu orang miskin tapi dalam hati berkata, “kasihan, mereka nggak seperti saya.”
Itulah kesombongan yang paling halus, dan paling busuk di mata langit.

Karena di hadapan Tuhan, semua pemberian manusia hanyalah titipan,
dan orang kaya sejati bukan yang bisa memberi banyak,
tetapi yang bisa memberi tanpa kehilangan rasa rendah hati.


“Jangan biarkan tanganmu yang memberi menjadi lebih tinggi dari hatimu yang menunduk.”
— Sebab ketika amal menjadi panggung, maka pahala sudah berpindah tangan.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment