Ada satu ironi besar dalam setiap kegaduhan sosial: ketika yang mestinya menjadi penyejuk justru menjadi penyulut. Ketika mereka yang diharapkan membawa kebijaksanaan justru larut dalam gelombang emosi massa. Fenomena ini tampak jelas pada kasus kesalahpahaman tayangan Trans 7 tentang dunia pesantren—sebuah kesalahan yang telah diakui dan bahkan sudah disertai permintaan maaf, namun tetap saja dibesar-besarkan hingga melahirkan kehebohan yang tak proporsional.
Yang lebih menyedihkan, mereka yang ikut memperkeruh justru datang dari kalangan yang seharusnya paling tenang dan jernih berpikir: kaum cerdik pandai, para penceramah, dan tokoh publik yang dikenal berpendidikan. Alih-alih menjadi pendingin suasana, mereka malah tampil paling depan berteriak lantang, seolah ingin menjadi pahlawan moral di tengah hiruk pikuk publik. Padahal, dengan kapasitas intelektual dan pemahaman agama yang mereka miliki, masyarakat justru menanti sikap bijak, bukan amarah yang membakar.
Ketika Intelektualitas Tunduk pada Emosi
Cendekiawan sejati semestinya menjadi penuntun nalar publik, bukan pengikut arusnya. Namun, dalam realitas yang kita saksikan, banyak di antara mereka gagal menjaga jarak antara akal sehat dan amarah sosial.
Mereka terseret oleh gelombang simpati massa, lalu ikut berteriak tanpa refleksi mendalam. Padahal, tugas seorang intelektual bukanlah memperkeras suara kerumunan, melainkan menjernihkan pikiran publik dari bias dan prasangka.
Ironinya, semakin tinggi posisi dan popularitas seseorang, semakin besar pula godaan untuk tampil emosional — karena mereka takut dianggap tidak peduli. Akibatnya, yang lahir bukan lagi suara kebijaksanaan, melainkan respon dangkal yang dikemas dengan wajah religius.
Fungsi Pencerah yang Hilang
Kaum cerdik pandai dan para penceramah memiliki fungsi strategis dalam membimbing masyarakat: mereka diharapkan hadir sebagai penjaga akal sehat kolektif.
Namun dalam kasus ini, banyak yang justru kehilangan arah.
Mereka lupa bahwa masyarakat memerlukan pencerahan, bukan penghakiman.
Mereka lupa bahwa ilmu seharusnya melahirkan kesabaran, bukan kegaduhan.
Ketika kesalahan sudah diakui dan permintaan maaf telah disampaikan, mestinya para tokoh ini tampil dengan sikap yang menyejukkan, adil, dan proporsional. Tapi yang terjadi justru sebaliknya — sebagian malah memperuncing isu, memperbesar luka, dan menebar panas di ruang publik.
Inilah yang disebut “ironi intelektual” — di mana orang berilmu kehilangan kematangan moralnya.
Ilmu Tanpa Adab: Bahaya Baru Dunia Dakwah
Fenomena ini sekaligus mengingatkan kita bahwa ilmu tanpa adab bisa menjadi bumerang.
Ketika intelektualitas tidak disertai keluhuran hati, maka pengetahuan justru dipakai untuk membenarkan emosi, bukan menuntun logika.
Kita menyaksikan bagaimana sebagian tokoh yang dikenal “alim” berubah menjadi komentator reaktif, cepat marah, dan mudah menghakimi — padahal sejatinya mereka diharapkan menenangkan.
Mereka yang mestinya membawa cahaya malah menyalakan api.
Mereka yang seharusnya meredam malah memperuncing.
Dan dalam kegaduhan itu, masyarakat kehilangan arah: tidak tahu lagi siapa yang benar-benar bijak, dan siapa yang sekadar pandai bicara.
Mengapa Ini Bisa Terjadi?
Ada beberapa alasan mengapa fenomena ini mudah muncul:
- Ketakutan kehilangan pengaruh.
Di era media sosial, diam sering dianggap tanda lemah. Maka sebagian tokoh merasa harus ikut bersuara keras agar dianggap peduli. - Godaan popularitas moral.
Reaksi emosional sering lebih cepat mendapat simpati publik dibanding penjelasan yang rasional. - Lunturnya adab berpikir.
Ketika seseorang terlalu lama berada dalam sorotan, ia bisa lupa bahwa menjadi penceramah bukan hanya soal bicara, tapi soal menjaga keseimbangan antara akal dan hati.
Tugas Seorang Cendekia: Mendinginkan, Bukan Memanaskan
Seorang intelektual sejati tidak kehilangan kepala saat orang lain kehilangan kesabaran. Ia tidak menambah bensin ke dalam api, tapi menyiapkan air untuk memadamkannya.
Ia tahu bahwa marah itu mudah, tapi menenangkan hati banyak orang di tengah amarah adalah tanda jiwa besar.
Dalam konteks kesalahpahaman Trans 7, seharusnya kaum cendekia tampil dengan pandangan yang lebih luas: bahwa setiap kekeliruan bisa jadi ruang belajar bagi semua pihak, bukan ajang pembunuhan karakter.
Seharusnya mereka berkata: “Kesalahan ini sudah diakui dan dimaafkan, mari jadikan ini pelajaran untuk saling memahami lebih dalam.”
Bukan malah: “Kita harus menghukum!” — karena sikap seperti itu bukan cerminan kecerdasan, tapi emosi yang tak terkendali dengan balutan moralitas semu.
Penutup: Saatnya Kembali pada Kewarasan Intelektual
Fenomena ini memberi pelajaran penting bahwa gelar, ilmu, dan popularitas tidak otomatis menjamin kebijaksanaan.
Yang membedakan seorang cendekia sejati dengan pengikut massa adalah kemampuannya untuk tetap jernih, proporsional, dan rendah hati di tengah badai opini.
Cendekia sejati tak perlu berteriak paling keras untuk dianggap peduli.
Ia cukup berbicara dengan tenang, tapi bernas.
Ia cukup menuntun dengan logika, bukan dengan amarah.
Karena tugas mereka bukan membakar emosi umat, melainkan menyalakan kesadaran umat.
Dan jika kaum cendekia kehilangan fungsi ini, maka yang tersisa hanyalah keramaian tanpa kebijaksanaan — sorak tanpa arah.
By: Andik Irawan