Kesalahan Sudut Pandang: Ketika Cinta dan Adab Dianggap Eksploitasi

Bagikan Keteman :


Kesalahan Sudut Pandang: Ketika Cinta dan Adab Dianggap Eksploitasi

Ada satu hal mendasar yang sering membuat realitas menjadi keliru di mata publik: kesalahan dalam mengambil sudut pandang.
Kesalahan kecil pada cara memandang bisa melahirkan kesimpulan yang menyesatkan — bahkan menghancurkan nilai luhur yang telah hidup berabad-abad dalam kebudayaan kita.

Inilah yang tampak ketika salah satu media televisi mainstream, Trans7, menyorot fenomena dunia pesantren dari sudut pandang “umum”—sudut pandang modern perkotaan yang serba rasional, material, dan transaksional. Maka muncullah tafsir yang menyesatkan: santri membantu guru dianggap eksploitasi, mencium tangan guru dianggap kultus individu, wali murid memberi hadiah pada guru anaknya pun dituduh sebagai praktik tak sehat.

Padahal semua itu bukan eksploitasi—melainkan ekspresi cinta, adab, dan kerendahan hati.


Pesantren: Dunia Nilai, Bukan Dunia Transaksi

Dunia pesantren tidak dibangun atas logika “hak dan kewajiban,” melainkan atas logika cinta dan ketulusan.
Santri membantu guru bukan karena diperintah, tapi karena ingin berkhidmah.
Ia belajar menghargai jerih payah, merendahkan diri, dan menumbuhkan rasa hormat yang kelak menjadi fondasi moralnya di masyarakat.

Ketika santri mencium tangan guru, itu bukan bentuk penyembahan manusia pada manusia, tapi penghormatan kepada ilmu dan pembawa cahaya pengetahuan.
Ketika wali murid memberi amplop atau hadiah pada guru anaknya, itu bukan suap, melainkan ungkapan terima kasih tulus — semacam ritual sosial yang mempertautkan kasih dan hormat di antara manusia.

Namun, siapa yang terbiasa hidup dalam sistem dunia dingin yang hanya mengenal transaksi, tentu akan buta pada bahasa cinta semacam ini.


Bahasa Hati yang Kini Ditinggalkan

Kita hidup di zaman ketika banyak orang kehilangan bahasa hati.
Yang tersisa hanyalah logika formal: untung-rugi, hak-kewajiban, kontrak dan gaji.
Maka ketika melihat sesuatu yang tak bisa dijelaskan lewat kacamata itu, mereka langsung menuduhnya tidak rasional, bahkan salah.

Orang yang kehilangan rasa adab akan selalu menuduh orang beradab sebagai penjilat.
Orang yang kehilangan rasa cinta akan selalu menuduh orang yang mencintai sebagai orang yang diperdaya.

Padahal di dunia pesantren, khidmah (melayani) adalah bagian dari pendidikan moral. Ia bukan beban, melainkan cara untuk mengasah jiwa agar lembut dan rendah hati.


Kegagalan Jurnalisme yang Kehilangan Kepekaan Budaya

Kesalahan media seperti ini bukan sekadar kesalahan liputan, tapi kegagalan memahami konteks budaya.
Dalam etika jurnalistik ada istilah cultural sensitivity — kepekaan terhadap nilai, tradisi, dan cara pandang masyarakat yang diliput.
Tanpa ini, jurnalisme berubah menjadi alat kolonialisasi pandangan modern terhadap kearifan lokal.

Mereka membawa kamera, tapi lupa membawa hati.
Mereka menyorot fenomena, tapi gagal menangkap maknanya.
Akhirnya, yang seharusnya menjadi pelajaran luhur malah disulap menjadi sensasi dan kecurigaan.


Masuklah dengan Hati, Bukan dengan Kamera

Untuk memahami pesantren, orang harus masuk dengan hati, bukan dengan prasangka.
Pesantren bukan tempat kerja, tapi ruang penyemaian jiwa.
Hubungan guru dan murid bukan relasi kuasa, tapi relasi cinta dan keberkahan.

Masuklah dengan niat belajar, bukan mencari cela.
Lihatlah dengan kacamata nilai, bukan kacamata sensasi.
Karena di balik kesederhanaan pesantren, ada kebijaksanaan besar tentang kemanusiaan dan keikhlasan yang mungkin telah hilang di dunia modern.


Penutup: Pelajaran dari Kesalahan Sudut Pandang

Kesalahan sudut pandang dapat mengubah keindahan menjadi keburukan, dan ketulusan menjadi kecurigaan.
Namun bagi mereka yang pernah nyantri, atau pernah menjadi wali santri, mereka tahu betul:
tidak ada paksaan dalam mencium tangan guru, tidak ada eksploitasi dalam membantu guru, tidak ada manipulasi dalam memberi hadiah.
Semua itu lahir dari cinta — dan cinta tidak bisa diukur dengan kamera, mikrofon, atau rating acara televisi.

Pesantren mengajarkan: adab adalah puncak ilmu, dan cinta adalah inti dari belajar.
Mereka yang memahami ini, tak akan pernah salah dalam mengambil sudut pandang.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment