Ketika Hati Tak Lagi Peka: Memahami Hilangnya Rasa Empati
Ada satu hal yang membuat manusia tetap disebut manusia — rasa kasihan. Dari rasa kasihan itulah lahir kepedulian, belas kasih, dan dorongan untuk membantu orang lain, terutama mereka yang dekat dalam lingkar keluarga dan kerabat.
Namun, mengapa ada orang yang mudah tergerak hatinya melihat penderitaan orang lain, sementara sebagian justru begitu dingin, bahkan kepada ibunya sendiri? Di sinilah misteri hati manusia bermula.
🌿 Empati, Getaran dari Hati yang Hidup
Empati bukan sekadar kemampuan berpikir atau memahami keadaan seseorang. Ia adalah getaran halus dari hati yang hidup, yang membuat seseorang mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, seolah ia sendiri berada dalam derita itu.
Empati tumbuh dari kelembutan jiwa dan kesadaran nurani.
Biasanya ia lahir dari beberapa hal:
- Kebiasaan merenung dan bersyukur, yang membuat hati lebih peka.
- Pernah mengalami kesulitan hidup, sehingga tahu rasanya perih dan kehilangan.
- Didikan penuh kasih, yang menanamkan nilai untuk memberi kasih pula.
- Kedekatan dengan Tuhan, karena iman melahirkan rasa tanggung jawab terhadap sesama.
Maka, empati bukan hasil pendidikan tinggi atau kecerdasan logika — melainkan buah dari hati yang pernah disentuh kasih dan cinta.
🌑 Ketika Hati Menjadi Dingin dan Mati Rasa
Tidak semua hati sanggup merasakan. Ada hati yang terlalu keras, ada yang terlalu lelah, dan ada pula yang terlalu sibuk mengejar dunia hingga tak sempat peduli.
Mengapa seseorang bisa kehilangan empati?
Ada beberapa sebab yang sering luput kita sadari:
1. Luka batin yang tidak pernah disembuhkan
Mereka yang sering disakiti, diremehkan, atau dikhianati bisa menutup hati agar tidak lagi terluka. Sayangnya, saat hati tertutup untuk rasa sakit, ia juga tertutup untuk rasa kasih.
2. Pendidikan yang menanamkan ego
Lingkungan yang menilai manusia hanya dari harta, jabatan, dan gengsi, melahirkan pribadi yang berpikir: “Selama aku bahagia, itu sudah cukup.”
Penderitaan orang lain tidak dianggap penting karena tidak menguntungkan dirinya.
3. Kemiskinan rohani
Jauh dari nilai keimanan membuat jiwa kering. Ibadah tak dijalani, dzikir tak dilakukan, muhasabah tak pernah hadir. Akibatnya, hati kehilangan cahaya dan menjadi keras.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidak beriman seseorang di antara kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
4. Kebiasaan mengabaikan
Empati adalah kebiasaan yang perlu dirawat.
Semakin sering seseorang membiarkan penderitaan di sekitarnya tanpa peduli, semakin terbiasa pula hatinya untuk tidak merasa apa-apa.
💔 Ketika yang Diabaikan adalah orang dekat
Inilah puncak dari hilangnya kemanusiaan: ketika seseorang tidak lagi tergetar oleh penderitaan orang terdekatnya.
Ketika orang terdekat menangis, namun ia mala sibuk menatap layar ponsel.
Ketika saudaranya berjuang dalam kesempitan, namun ia tak juga menoleh.
Itu bukan sekadar kurang empati — itu tanda hati telah mengeras dan mati rasa.
Dalam istilah spiritual Islam disebut “qaswatul qalb” — hati yang membatu.
Ia tidak lagi mudah tersentuh, tidak mudah menangis, dan tidak merasa bersalah sekalipun yg menderita orang terdekatnya sendiri.
🌸 Memahami Bukan Berarti Membenarkan
Orang yang kehilangan empati sering kali bukan jahat — ia hanya terluka, kering, atau kehilangan arah hidupnya.
Namun luka yang tidak disembuhkan berubah menjadi dinding yang memisahkan dirinya dari kasih.
Satu-satunya jalan untuk menyembuhkannya adalah membangunkan hati itu kembali:
- Belajar mendengar suara nurani — berhenti sejenak dari kebisingan dunia.
- Berhadapan langsung dengan penderitaan — agar jiwa kembali tahu rasanya menjadi manusia.
- Mendekat kepada Tuhan — sebab hanya Allah yang mampu menghidupkan hati yang mati.
🌺 Penutup: Melatih Hati Agar Lembut
Rasa kasihan dan kepedulian tidak bisa diajarkan lewat kata-kata, tapi bisa ditumbuhkan lewat tindakan kecil yang tulus — memberi makan, menolong, mendengar, atau sekadar mengusap air mata orang lain.
Empati adalah tanda bahwa hati kita masih hidup.
Dan jika hari ini kita masih bisa terenyuh melihat orang susah, menangis mendengar kisah ibu yang terluka, atau tersentuh oleh nasib saudara yang kekurangan — bersyukurlah, karena itu berarti Allah masih menyalakan cahaya di dalam hati kita.
By: Andik Irawan