Zaman Kebingungan: Saat Panutan Tak Lagi Layak Diteladani
Inilah zaman yang membingungkan.
Zaman di mana orang-orang awam kehilangan arah, karena para pemuka kaum, para tokoh publik, tampil dengan perilaku yang membingungkan — tidak jelas, tidak tegas, dan tidak layak diteladani.
Yang terjadi adalah paradoks besar: tokoh-tokoh yang seharusnya menjadi penunjuk jalan, justru berjalan tanpa arah.
Mereka yang seharusnya menegakkan nilai, justru mempermainkan nilai.
Dan masyarakat awam, yang semestinya dibimbing menuju kebijaksanaan, kini terombang-ambing dalam kebingungan — tidak tahu siapa yang benar-benar patut dipercaya.
Ketika Citra Mengalahkan Hakikat
Kita sedang hidup di era pencitraan.
Di mana yang penting bukan lagi menjadi baik, tapi tampak baik.
Segala sesuatu diukur dari bagaimana tampil di depan kamera, bukan dari bagaimana berbuat di balik layar.
Banyak tokoh publik yang tampak santun, tapi hatinya penuh ambisi.
Pandai berbicara soal moralitas, tapi gagal menegakkan moral di dalam rumah tangganya sendiri.
Menyeru keikhlasan, tapi setiap langkahnya terhitung sebagai investasi citra.
Maka lahirlah generasi panutan yang penuh kepura-puraan.
Kebaikan berubah menjadi konten. Ketulusan menjadi komoditas.
Dan kebenaran — perlahan — menjadi kabur.
Pemimpin yang Hilang Arah
Tokoh publik sejatinya adalah penunjuk arah moral masyarakat.
Namun ketika kepemimpinan kehilangan kejujuran, maka arah pun hilang.
Mereka bukan lagi menuntun umat, melainkan menuntun opini.
Yang diurus bukan kepentingan rakyat, melainkan kepentingan pribadi, kelompok, dan kedudukan.
Akibatnya, masyarakat menyaksikan sandiwara besar di panggung kehidupan — di mana para tokoh saling bersandiwara atas nama kebaikan, tapi sejatinya tengah menegakkan kepentingan diri.
Kebajikan menjadi topeng baru bagi ambisi.
Salah Pilih Teladan
Kebingungan masyarakat juga lahir dari kesalahan dalam memilih panutan.
Kita terlalu mudah terpukau oleh penampilan, oleh cara bicara, oleh banyaknya pengikut, oleh kesan “alim” atau “intelek” yang ditampilkan di ruang publik.
Namun jarang kita meneliti bagaimana seseorang bersikap dalam kesunyian, dalam kejujuran, dalam ujian tanpa sorotan.
Padahal, keaslian seseorang bukan diukur dari panggung, melainkan dari keseharian yang tak terlihat kamera.
Akibatnya, masyarakat sering tersesat:
Yang dianggap bijak ternyata manipulatif.
Yang dianggap alim ternyata rakus kekuasaan.
Yang dianggap pemimpin sejati, ternyata hanya penumpang di kursi kepemimpinan.
Krisis Keotentikan Manusia
Fenomena ini bukan sekadar krisis tokoh, melainkan krisis keotentikan manusia.
Kita hidup di masa ketika topeng lebih dihargai daripada wajah asli, ketika suara lebih kuat daripada substansi, ketika citra lebih berharga daripada karakter.
Dan di tengah hiruk-pikuk panggung kepalsuan itu, masyarakat kehilangan kompas moralnya.
Kebenaran menjadi relatif, keadilan bisa dinegosiasi, dan kebaikan bergantung pada siapa yang paling pandai bicara.
Inilah masa yang disebut oleh sebagian orang bijak sebagai masa gelap dalam terang,
karena semuanya tampak bercahaya — tapi sejatinya redup nilai.
Kembali pada Hati dan Akal Sehat
Namun di tengah kebingungan ini, masih ada jalan keluar.
Kita harus kembali pada dua hal yang tak bisa dimanipulasi: hati nurani dan akal sehat.
Hati nurani mampu mengenali ketulusan, meski tanpa kata.
Akal sehat mampu menolak kepalsuan, meski dibungkus oleh logika indah.
Maka jadikan keduanya sebagai kompas:
- Nilailah seseorang dari perbuatannya yang konsisten, bukan dari ucapannya yang indah.
- Hargailah ketulusan lebih dari popularitas.
- Dan jadilah manusia yang berusaha menjadi teladan, bukan hanya pencari teladan.
Karena di masa ketika teladan sejati langka, setiap jiwa yang jujur adalah cahaya yang sangat berharga.
Penutup: Cahaya di Tengah Kabut
Zaman ini mungkin penuh kebingungan,
namun kebingungan itu bisa menjadi pintu kesadaran baru —
bahwa kebenaran tidak tergantung pada siapa yang berbicara,
tetapi pada apa yang selaras dengan nurani dan akal sehat.
Maka biarlah dunia dipenuhi tokoh-tokoh yang membingungkan;
asal hati kita tetap jernih,
asal langkah kita tetap tulus,
asal kebenaran tetap dijaga meski sendirian.
Sebab pada akhirnya, kebingungan orang banyak tidak akan menyesatkan mereka yang tetap berpegang pada cahaya hati.
By: Andik Irawan