Ilmu Tanpa Integritas: Ketika Gelar Tinggi Menjadi Beban Moral
Di tengah masyarakat modern, gelar akademik dan pendidikan tinggi sering dipandang sebagai simbol keberhasilan, kemajuan, bahkan martabat. Orang yang menyandang gelar berderet—dari sarjana, magister, hingga doktor—diharapkan menjadi sosok teladan: cerdas, bijak, dan menjaga persatuan. Namun, apa jadinya jika di balik gelar yang panjang itu tersembunyi pribadi yang angkuh, penuh kontroversi, dan minim integritas?
Inilah ironi besar dunia pendidikan: ketika ilmu tak disertai budi pekerti, maka gelar hanya menjadi hiasan tanpa makna, bahkan bisa berubah menjadi beban moral yang berat.
Gelar Tak Menjamin Integritas
Pendidikan tinggi memang mengasah kemampuan intelektual. Ia mengajarkan cara berpikir sistematis, logika yang kuat, dan penguasaan teori yang dalam. Tapi pendidikan tidak serta-merta membentuk kepribadian yang luhur. Integritas adalah ranah hati dan akhlak, bukan sekadar kecerdasan otak.
Seseorang yang berpendidikan rendah dan tidak memiliki integritas mungkin masih bisa dimaklumi. Tapi ketika orang dengan gelar bertumpuk justru menjadi biang keretakan sosial, menyulut kontroversi, atau tidak mampu merawat harmoni, maka masyarakat tidak akan tinggal diam. Kekecewaan muncul—meski kadang tak diucapkan, tapi bergemuruh di dalam hati.
Beban Moral Seorang Intelektual
Gelar tinggi adalah prestasi, tapi juga janji tak tertulis kepada publik. Ia menyiratkan bahwa pemiliknya akan menjadi:
- Sosok yang mencerdaskan, bukan menyesatkan.
- Penjaga nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
- Pengayom dalam perbedaan, bukan pemicu perpecahan.
Ketika janji itu dilanggar, kepercayaan masyarakat runtuh. Respek berubah menjadi sinis. Yang tersisa hanyalah sindiran, kekecewaan, bahkan hinaan, walau kadang masih tersimpan di balik kesantunan luar.
Ilmu Tanpa Akhlak adalah Malapetaka
Ilmu seharusnya memuliakan manusia, bukan merendahkannya. Tapi ketika ilmu dipakai untuk:
- Membenarkan kesombongan,
- Menjustifikasi kebohongan,
- Mencari panggung pribadi dengan merusak persatuan,
maka ilmu itu telah kehilangan ruhnya. Ia menjadi malapetaka, bukan anugerah. Seorang cendekia yang tidak mampu menjaga integritas bukan hanya gagal, tetapi telah mencoreng nama baik dunia pendidikan itu sendiri.
Penutup: Yang Diingat Bukan Gelar, Tapi Keteladanan
Sejatinya, masyarakat tidak terlalu peduli seberapa panjang gelar seseorang. Yang mereka cari adalah keteladanan, kebijaksanaan, dan kepedulian. Di akhir hidup, yang dikenang bukan deretan huruf di belakang nama, tapi jejak kebaikan, ketulusan dalam bersikap, dan kontribusi nyata pada kehidupan bersama.
Karena itu, marilah kita renungkan: untuk apa ilmu, jika tak membawa manfaat? Untuk apa gelar, jika tak dibarengi akhlak? Sebab, di mata masyarakat, ilmu tanpa integritas bukan kehormatan—melainkan luka yang sulit dilupakan.
By: Andik Irawan