Dewan Pengawas atau Pengawas Dewan? Fenomena Lucu yang Menyedihkan

Bagikan Keteman :


Di tengah dinamika tata kelola lembaga dan perusahaan publik yang seharusnya menjunjung prinsip transparansi dan keberpihakan pada rakyat, kita justru menemukan fenomena yang unik sekaligus tragis—yakni ketika dewan pengawas berubah fungsi menjadi perisai para pengurus.

Ini bukan cerita fiksi. Dalam banyak forum pertemuan antara pengurus lembaga/perusahaan dan masyarakat, tak jarang dewan pengawas—yang sejatinya adalah wakil rakyat dan kepanjangan tangan pemimpin wilayah—malah tampil membela pengurus habis-habisan. Bukan menjaga rakyat, justru melindungi kepentingan segelintir elit dalam organisasi.

Fenomena ini bukan hanya lucu dan ganjil. Ia nyungsang—terbalik dari logika sehat dan etika jabatan. Dan yang lebih menggelikan lagi: semua itu sering dibungkus dengan narasi formal, seolah-olah itulah yang benar.


Tugas Mulia yang Dikhianati

Secara prinsip, dewan pengawas dibentuk untuk mengawasi jalannya organisasi, menjembatani aspirasi masyarakat, dan memastikan semua kebijakan berpihak pada publik. Mereka adalah “mata rakyat” dalam struktur formal. Tapi ketika dewan pengawas justru sibuk menjadi benteng pengaman para pengurus dalam forum publik, maka:

  • Fungsi pengawasan berubah menjadi pembelaan membabi buta,
  • Representasi masyarakat tereduksi menjadi formalitas belaka,
  • Dan forum musyawarah berubah menjadi pertunjukan sandiwara kekuasaan.

Lucu Tapi Bahaya

Lucu? Ya, karena fenomena ini secara logika jelas-jelas melanggar nalar publik. Namun di balik kelucuan itu, ada bahaya besar yang sedang mengintai:

  • Rakyat tidak lagi punya ruang menyampaikan kritik,
  • Struktur pengawasan berubah menjadi struktur penghambat perubahan,
  • Dan lembaga publik menjadi sarang nyaman bagi penyimpangan.

Semua ini terjadi karena fungsi, peran, dan hati nurani telah tertukar tempatnya.


Mengapa Ini Bisa Terjadi?

Ada beberapa sebab yang mungkin:

  1. Konflik Kepentingan – Banyak pengawas yang ditunjuk bukan karena kapabilitas, tapi karena kedekatan personal atau politik.
  2. Budaya Feodal – Loyalitas pada atasan dianggap lebih penting daripada tanggung jawab pada masyarakat.
  3. Ketidaktahuan Peran – Tak sedikit yang duduk di kursi pengawasan, tapi tak memahami apa arti pengawasan itu sendiri.
  4. Takut Kehilangan Jabatan – Pengawas enggan bersikap kritis karena takut tidak diperpanjang masa jabatannya.

Akhirnya, yang mestinya menjadi penyeimbang justru ikut jadi bagian dari ketimpangan.


Refleksi: Kita Sedang Tertawa Sambil Terluka

Fenomena ini mungkin terasa lucu saat diceritakan. Tapi pada kenyataannya, kita menertawakan kerusakan sistem yang sedang merusak masa depan pelayanan publik. Kita tertawa karena tak tahu harus bagaimana, atau karena terlalu lelah menghadapi kenyataan yang sama, berulang, dan terus dibiarkan.

Namun tawa kita seharusnya menyimpan kesadaran kritis. Bahwa:

  • Sistem bisa rusak jika pengawas tak lagi mengawasi,
  • Masyarakat bisa dikebiri jika forum publik hanya jadi panggung sandiwara,
  • Dan kepercayaan bisa runtuh jika pengurus terus berlindung di balik perisai semu.

Penutup: Saatnya Mengembalikan Fungsi dan Nurani

Dewan pengawas bukanlah satpam pengurus. Mereka adalah pengemban amanah rakyat. Jika jabatan tak dijalankan dengan integritas, maka gelar dan posisi hanya akan menjadi simbol kebusukan yang tersembunyi di balik rapat dan meja-meja formalitas.

Mari berhenti tertawa. Saatnya bersuara. Sebab lembaga publik hanya akan sehat jika yang duduk di dalamnya masih punya rasa malu, rasa tanggung jawab, dan keberanian untuk berpihak pada kebenaran.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment