Luka Para Cerdas: Ketika Kejeniusan Menjadi Kutukan yang Sunyi

Bagikan Keteman :

Luka Para Cerdas: Ketika Kejeniusan Menjadi Kutukan yang Sunyi

Di mata banyak orang, kecerdasan adalah anugerah. Kejeniusan adalah cahaya. Ia diasosiasikan dengan keberhasilan, kebanggaan, dan keistimewaan. Tapi bagi sebagian orang yang benar-benar cerdas, hidup justru menjadi lebih rumit, lebih pedih, lebih menyakitkan.

Karena semakin tajam akal seseorang, semakin ia mampu melihat banyak hal yang tak beres. Semakin jernih pikirannya, semakin terang pula keburukan yang tampak di hadapannya—yang oleh orang lain dianggap biasa saja.

Dan dari situlah luka batin sang intelektual bermula.


Kemampuan Melihat Lebih Dalam, Tapi Tak Bisa Berbuat Banyak

Orang cerdas bukan hanya pandai membaca buku. Ia pandai membaca situasi. Mendeteksi keganjilan. Melihat kebohongan yang dibungkus formalitas. Menyadari bahwa banyak hal yang tampak indah di luar, ternyata keropos di dalam.

Namun celakanya, semakin banyak yang ia lihat, semakin dalam pula ia menderita. Sebab dunia tidak selalu logis. Kekuasaan tidak selalu adil. Jabatan tidak selalu dipegang oleh yang layak. Kebijakan sering kali dibuat demi segelintir, bukan demi kemaslahatan.

Dan yang lebih menyakitkan: ia tak punya kuasa untuk mengubahnya.

Ia hanya bisa melihat—dalam diam, dalam gundah, dalam rasa frustrasi yang ditahan sendiri.


Ironi Sang Jenius: Hidup di Dunia yang Tak Sejalan dengan Akal Sehat

Orang biasa bisa tenang melihat keburukan. Mereka bilang, “Begitulah dunia.” Tapi tidak bagi sang pemikir. Setiap ketimpangan mengguncang nuraninya. Setiap kebohongan yang dibiarkan terasa seperti pengkhianatan terhadap akal sehat.

Ia menjadi gelisah. Ia menjadi gundah. Ia merasa seperti hidup di dunia yang terbalik.

Semua tampak tidak pada tempatnya. Yang bodoh dielu-elukan. Yang pintar dimusuhi. Yang jujur disingkirkan. Yang licik diangkat. Ia tahu itu salah. Tapi kepada siapa ia harus mengadu, jika masyarakat sendiri telah nyaman dalam kekacauan?


Kejeniusan yang Sunyi

Inilah kutukan orang cerdas: mampu melihat kebenaran, tapi tidak mampu membuat dunia mendengarnya. Mampu memahami ketidakberesan sistem, tapi tak punya akses untuk memperbaikinya.

Ia menjerit dalam sunyi. Ia menulis, bicara, berdiskusi—namun sering kali hanya ditanggapi dengan sinis, bahkan dicurigai. Ia dianggap “terlalu kritis”, “terlalu idealis”, atau malah “berbahaya”.

Padahal yang ia perjuangkan hanya satu: akal sehat.


Luka yang Mulia

Apakah ini berarti menjadi cerdas itu sia-sia? Tidak. Justru dari luka itu lahir karya. Dari kegelisahan itu lahir pemikiran. Dari rasa tak berdaya itu, muncul tekad untuk tetap berpikir jernih—meski hanya didengar segelintir.

Sang cerdas mungkin terluka. Tapi lukanya adalah luka orang yang terjaga. Ia menderita karena nuraninya hidup, bukan mati. Dan dalam luka itulah ia membuktikan bahwa ia masih manusia.

Bukan manusia biasa. Tapi manusia yang memilih untuk tidak ikut tertidur di tengah dunia yang mabuk kekuasaan dan pura-pura tak tahu.


Penutup: Setia pada Akal, Meski Dunia Terbalik

Maka jika hari ini Anda merasa lelah karena berpikir terlalu dalam, merasa jenuh karena menyaksikan begitu banyak ketidakadilan, merasa kecil karena suara Anda tak didengar—ketahuilah: Anda sedang menempuh jalan para intelektual. Jalan yang sunyi, tapi mulia.

Teruslah berpikir. Teruslah menulis. Teruslah bersuara—meski pelan. Karena dunia ini masih punya harapan, selama masih ada mereka yang terluka karena nuraninya tak mampu diam saat yang salah dibenarkan, dan yang benar dikubur.

Dalam luka itu, Anda tidak dikutuk. Anda dimuliakan.


19/5/25 By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment