Dalam hidup ini, ada luka-luka yang tak bisa disembuhkan oleh obat. Ada lelah yang tak mampu diangkat oleh istirahat. Ada tangis yang tak mampu dijelaskan oleh kata-kata. Dan ketika semua jalan terasa buntu, manusia akhirnya kembali pada satu hal yang paling sederhana sekaligus paling agung: sujud.
Sujud adalah tempat paling sunyi, namun paling menggetarkan. Di sana, bukan hanya dahi yang menyentuh bumi—tetapi juga hati yang menyerah total kepada langit.
Saat Dunia Tak Lagi Bisa Dijelaskan dengan Logika
Ada fase dalam hidup di mana kecerdasan tak lagi sanggup menenangkan. Analisis tak lagi memuaskan. Solusi seolah menguap. Segalanya terasa kacau, terbalik, dan tak adil. Kita bertanya-tanya, mengapa semua ini harus terjadi? Mengapa kebaikan kadang dibalas duka? Mengapa doa terasa menggantung?
Dan ketika tak ada lagi yang bisa dijadikan tempat bersandar, sajadah menjadi pelabuhan terakhir.
Bukan karena menyerah. Tapi karena kita sadar, semua ini bukan sepenuhnya milik kita untuk atur. Ada tangan yang lebih berkuasa. Ada kehendak yang lebih besar. Dan di hadapan kekuasaan itu, manusia hanya bisa tunduk, lalu berkata dalam hati:
“Tuhan, aku tidak mengerti, tapi aku percaya.”
Memuji Tuhan dalam Luka: Sebuah Kedewasaan Jiwa
Sikap paling indah dalam spiritualitas adalah kemampuan memuji Tuhan bahkan dalam keadaan yang tidak sesuai keinginan. Ini bukan sekadar ucapan, tapi buah dari kesadaran batin bahwa:
“Apa pun yang terjadi, baik ataupun buruk menurutku, Tuhan tetap layak dipuji.”
Memuji Tuhan bukan karena kita sedang bahagia, tapi karena kita percaya bahwa Tuhan tak pernah bertindak sia-sia. Bahkan ketika hidup tampak getir, di balik setiap kejadian pasti ada hikmah yang tidak langsung terbaca.
Dan di situlah hati menjadi tenang. Karena memuji Tuhan, bahkan dalam derita, adalah bentuk tertinggi dari keimanan yang dewasa.
Ridha: Kepasrahan yang Melahirkan Ketenangan
Ridha bukan berarti pasif. Ia bukan sikap “apa boleh buat”. Ridha adalah puncak kepasrahan yang sadar. Ketika seseorang sudah berusaha sebaik-baiknya, namun hasilnya tak seperti harapan, ia berkata dalam hati:
“Tuhanku lebih tahu apa yang terbaik untukku, meski sekarang aku belum memahaminya.”
Dalam ridha, tidak ada kemarahan terhadap takdir. Tidak ada protes terhadap kenyataan. Yang ada hanya penerimaan, karena yakin bahwa segala sesuatu terjadi di bawah pengaturan Tuhan yang Maha Sempurna.
Dan dari sanalah ketenangan sejati tumbuh.
Penutup: Sujud adalah Bahasa Jiwa yang Paling Dalam
Pada akhirnya, manusia tidak hanya hidup dengan logika. Kita butuh tempat untuk menangis, untuk mengadu, untuk melepaskan segalanya. Dan tempat itu bukan ruang ramai, bukan keramaian dunia. Tempat itu adalah sujud.
Sujud adalah tempat semua keluh kesah tumpah, tanpa harus menjelaskan apa pun. Sujud adalah saat di mana kita tidak lagi kuat, tapi kita merasa cukup, karena tahu ada Tuhan yang Maha Kuat.
Maka, jika hatimu sedang luka, pikiranmu kalut, harapanmu meredup—kembalilah ke sajadah. Bukan untuk mencari jawaban, tapi untuk menemukan ketenangan.
Karena di sanalah, di antara butiran tasbih dan air mata, kita akhirnya menyadari satu hal penting:
Tuhan tak pernah salah. Dan memuji-Nya, meski dalam derita, adalah cara terbaik untuk sembuh.
By: Andik Irawan