Ketika Seseorang Belum Selesai dengan Dirinya Sendiri: Sebuah Refleksi untuk Menyaring Energi

Bagikan Keteman :


Ketika Seseorang Belum Selesai dengan Dirinya Sendiri: Sebuah Refleksi untuk Menyaring Energi

Dalam perjalanan hidup—baik dalam relasi pribadi, komunitas, hingga dunia profesional—kita akan sering bertemu dengan orang-orang yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Mereka yang masih sangat membutuhkan pujian, sanjungan, pencitraan, dan pengakuan dari luar untuk merasa berarti. Kita tentu tak bisa serta merta menghakimi, karena setiap orang punya luka dan latar belakang yang membentuknya. Namun, memahami dinamika ini penting agar kita bisa bersikap tepat, menjaga energi, dan tetap bertumbuh.

Ketika Validasi Menjadi Nafas

Kebutuhan akan pengakuan dan apresiasi sebenarnya adalah bagian alami dari manusia. Namun, ketika kebutuhan itu menjadi pusat dari segala tindakan—maka di situlah masalah muncul. Segala yang dilakukan bukan lagi demi nilai, tapi demi nilai-nilai permukaan. Bukan untuk memberi kontribusi, tapi untuk terlihat berkontribusi. Orang seperti ini hidup dalam bayang-bayang pencitraan, sibuk membangun kesan dibandingkan kualitas.

Di titik ini, kolaborasi dan kemajuan akan menjadi sesuatu yang sulit dicapai bersama mereka.

Energi yang Tersedot untuk Ego

Bayangkan bekerja bersama seseorang yang lebih sibuk menjaga citranya daripada menjaga kualitas kerjanya. Orang yang tak tahan dikritik, tapi sangat haus dipuji. Orang yang tidak benar-benar ingin belajar, tapi ingin tampak hebat di depan banyak orang. Hasilnya:

  • Proses diskusi menjadi tidak jujur.
  • Keputusan diwarnai motif pribadi.
  • Konflik kecil bisa membesar hanya karena sentimen ego.

Tak heran, banyak kelompok atau tim yang sulit berkembang bukan karena kekurangan ide, tapi karena terlalu banyak energi tersedot untuk menenangkan emosi satu dua individu yang belum selesai dengan dirinya sendiri.

Sikap yang Bijak: Memahami Tanpa Terseret

Kita tidak bisa menyembuhkan orang lain jika mereka belum siap menyembuhkan dirinya sendiri. Namun kita bisa memilih untuk tidak larut dalam permainan citra yang melelahkan. Kita bisa bersikap bijak:

  • Memahami bahwa setiap orang berada di fase berbeda dalam hidupnya.
  • Menghormati proses orang lain, namun tetap menjaga batas.
  • Fokus pada nilai dan kontribusi, bukan pada tepuk tangan.

Tidak semua orang siap tumbuh bersama kita. Dan itu tidak apa-apa.

Tumbuh Butuh Ruang yang Sehat

Lingkungan yang penuh pencitraan adalah tanah tandus bagi pertumbuhan sejati. Maka kita berhak menyaring siapa yang layak menjadi rekan perjalanan. Bukan karena kita merasa lebih baik, tapi karena kita ingin terus bergerak maju, bukan terjebak dalam drama emosional yang tak berkesudahan.

Berikan ruang pada mereka yang masih butuh waktu untuk membenahi diri. Tapi jangan biarkan perjalanan hidup dan karya kita tertunda karena harus menunggu mereka yang belum siap melangkah.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment