“Siapa Suruh Jadi Pejabat?” – Ketika Kelakar Menyingkap Krisis Moral, Tapi Juga Panggilan untuk Bangkit

Bagikan Keteman :


“Siapa Suruh Jadi Pejabat?” – Ketika Kelakar Menyingkap Krisis Moral, Tapi Juga Panggilan untuk Bangkit

Dalam percakapan santai di sebuah ruang kekuasaan, seorang pejabat publik menyampaikan keluh kesahnya kepada atasan. Ia bicara tentang beban tugas, tekanan batin, dan tantangan yang terus datang tanpa henti. Namun, jawaban sang atasan justru terdengar mengejutkan:

“Siapa suruh kau jadi pejabat?”

Ucapan ini mungkin dimaksudkan sebagai kelakar, candaan untuk mencairkan suasana. Tapi bagi yang mau merenung lebih dalam, kalimat singkat ini menyimpan makna yang getir dan menyakitkan. Ia menyiratkan penyangkalan tanggung jawab, hilangnya empati, dan kemunduran etika dalam kepemimpinan.

Namun di saat yang sama, kalimat ini juga bisa menjadi cermin tajam — dan bahkan pintu masuk menuju kebangkitan moral seorang pemimpin sejati.

1. Ketika Canda Menjadi Cermin Kekosongan Hati

Kalimat seperti ini, walau terdengar ringan, sebenarnya mencerminkan bagaimana sebagian elit telah kehilangan semangat pelayanan, menggantinya dengan sinisme dan apatisme. Mereka lupa bahwa jabatan bukan hadiah, melainkan amanah. Bahwa setiap pemegang kekuasaan seharusnya bukan sekadar pemilik kursi, tetapi pemikul beban bersama.

Sayangnya, kalimat itu justru melepas tanggung jawab dan membiarkan seseorang tenggelam dalam beban tanpa sokongan.

2. Di Balik Ketidakpedulian, Ada Panggilan untuk Tangguh

Namun di balik nada sinis itu, barangkali tersimpan pelajaran yang lebih dalam. Kadang, hidup memang menyodorkan kita pada kenyataan yang keras — bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk menempa keteguhan hati. Seorang pejabat, seorang pemimpin, harus bisa melampaui ekspektasi orang lain, bahkan ketika yang didapat hanyalah lelucon yang menyakitkan.

Kalimat itu bisa menjadi pemicu: apakah kita akan terpuruk karena diabaikan, atau bangkit membuktikan bahwa jabatan ini bukan sekadar posisi, tetapi misi?

3. Kepemimpinan Bukan Soal Nyaman, Tapi Soal Keteladanan

Pejabat sejati bukan hanya mereka yang hadir saat keadaan mudah. Mereka yang bertahan, berjuang, dan tetap memikul beban dengan tulus meski tak mendapat tepuk tangan — merekalah pemimpin sejati.

Kelakar yang menjatuhkan justru bisa menjadi panggilan diam-diam: jadilah teladan, bukan hanya jabatan. Karena sejatinya, bangsa ini tidak kekurangan orang pintar — yang kurang adalah mereka yang tetap punya hati ketika menduduki kursi tinggi.

4. Ubah Luka Jadi Lompatan

Bagi para pemimpin muda, para pelayan masyarakat, dan siapa pun yang sedang merasa sendiri dalam perjuangannya: jangan biarkan candaan yang meremehkan merampas nilai pengabdianmu. Gunakan itu sebagai bahan bakar untuk melompat lebih tinggi, menunjukkan bahwa kamu bukan sekadar pejabat karena jabatan — tapi karena kamu terpanggil untuk memberi makna.


Penutup: Jadilah Pemimpin yang Tak Butuh Sorak, Tapi Tak Lelah Melayani

“Siapa suruh jadi pejabat?” adalah pertanyaan retoris yang bisa meruntuhkan semangat. Tapi kamu bisa memilih untuk menjawabnya bukan dengan keluh kesah, melainkan dengan karya, keteguhan, dan pelayanan yang nyata.

Bangsa ini butuh lebih banyak pemimpin yang tak takut disalahpahami. Yang tetap melayani meski tak dihargai. Yang tidak menunggu dukungan, tapi justru menjadi alasan orang lain untuk ikut berjuang.

Karena pada akhirnya, yang membuat seseorang layak memegang jabatan bukanlah siapa yang menyuruhnya… tapi untuk siapa ia melakukannya.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment