Intelektual Diam, Masyarakat Merana: Ketika Akal Tak Lagi Bicara
Di tengah gempuran kemunduran moral dan sosial umat Islam, kita sering mengangkat dua aktor utama sebagai penentu arah masyarakat: umaro’ dan ulama. Tapi sesungguhnya ada satu kelompok lagi yang tidak kalah penting: kaum intelektual.
Kaum intelektual—terutama yang muncul dari kalangan pemuda terpelajar—adalah harapan ketiga bagi masyarakat. Mereka adalah produk dari proses pendidikan tinggi, seharusnya menjadi penjaga nalar kritis, agen perubahan sosial, dan motor pembaharuan nilai.
Namun, sebuah pertanyaan besar mengemuka: mengapa mereka justru diam?
1. Di Mana Intelektual Itu? Ada, Tapi Tak Hadir
Di banyak desa atau kawasan kecil, tidak sedikit individu yang menyandang gelar akademik: sarjana pendidikan, ekonomi, agama, hukum, bahkan magister. Mereka pernah belajar filsafat, teori sosial, manajemen pembangunan, dan banyak lainnya. Tapi di mana mereka ketika masyarakatnya merosot?
- Saat masyarakat tenggelam dalam konten amoral, tidak ada suara yang mengkritik.
- Saat nilai agama diabaikan, tidak ada yang menawarkan wacana alternatif.
- Saat ulama dan umaro abai, tidak ada yang mengingatkan.
Ada tapi tak hadir. Ada tapi tak menyala.
2. Di Mana Ada Kemampuan Besar, Di Situ Ada Tanggung Jawab Besar
Kaum intelektual sejati tidak bisa hanya bangga dengan ijazah dan status sosial. Seperti kata bijak:
“With great power comes great responsibility.”
Ilmu dan pendidikan bukanlah hak istimewa untuk mencari kenyamanan pribadi, tapi alat untuk menyuarakan kebenaran dan membela masyarakat. Jika kaum terdidik diam, maka:
- Ilmu mereka kehilangan ruh
- Nalar mereka tumpul
- Amanah keilmuan mereka hancur
Mereka bukan lagi intelektual, hanya lulusan.
3. Mengapa Mereka Diam? Beberapa Kemungkinan
Ada beberapa sebab mengapa para intelektual ini tampak apatis atau bahkan hilang dari gelanggang sosial:
- Takut kehilangan posisi atau relasi sosial
- Merasa perjuangan sia-sia atau tidak berdampak
- Sudah terjebak dalam zona nyaman pekerjaan dan kehidupan pribadi
- Pendidikan tinggi hanya membentuk kemampuan teknis, bukan kesadaran sosial
Dan yang lebih mengkhawatirkan:
Bisa jadi mereka bukan intelektual sejati, hanya lulusan institusi tanpa ruh perjuangan.
4. Apakah Intelektual Masih Ada? Atau Sudah Punah?
Pertanyaan ini penting: Apakah desa kita, masyarakat kita, masih melahirkan intelektual sejati?
Yaitu mereka yang:
- Berani berpikir berbeda
- Mau bersuara ketika yang lain diam
- Siap menanggung resiko demi kebenaran
- Membela nilai agama dan keadilan sosial, walau tanpa panggung
Jika yang tersisa hanyalah gelar, bukan keberanian berpikir dan bertindak, maka kita sedang mengalami kepunahan intelektual—bukan karena tidak ada sekolah, tapi karena tidak ada nyali dan nurani.
Kesimpulan: Saatnya Bangkit, Jangan Jadi Lulusan Tanpa Jiwa
Intelektual sejati adalah mereka yang:
- Tidak bisa diam saat masyarakatnya tersesat
- Tidak bisa tidur nyenyak saat nilai agama dihancurkan
- Tidak bisa nyaman saat masyarakatnya remuk moralnya
Mereka bukan menara gading, tapi menara cahaya. Mereka bukan sekadar tahu, tapi peduli. Mereka bukan sekadar cerdas, tapi juga berani.
Jika para pemuda cendekiawan di desa bangkit, bersuara, dan bersinergi dengan ulama dan umaro yang baik, maka masyarakat akan kembali punya harapan.
By: Andik Irawan