“Kecanduan Irama: Ketika Musik Menunda Pertobatan”
Ada sebuah pemandangan yang menggelitik jiwa:
Para musisi—baik nasional maupun dunia—yang telah menginjak usia senja, bahkan sebagian sudah renta, masih tampil di atas panggung dengan semangat menyala. Mereka menciptakan lagu, bernyanyi, bahkan berdansa di usia yang seharusnya sudah menjadi masa khusyuk menuju akhir.
Ini bukan sekadar kegigihan dalam berkarya. Ini adalah fenomena jiwa yang penting untuk direnungkan.
Mengapa Tidak Beralih ke Keheningan?
Secara logika fitrah:
- Usia senja adalah masa tenang
- Masa bersiap pulang
- Masa menepi dari hiruk-pikuk dunia
- Masa memperbanyak ibadah dan mengenal diri
Tapi justru pada usia inilah banyak musisi yang semakin sibuk, semakin mencintai panggung, dan semakin tenggelam dalam irama yang dulu mengangkat mereka ke puncak.
Kenapa ini bisa terjadi?
Jawabannya adalah satu kata yang penting: adiksi.
Musik dan Irama Bisa Bersifat Adiktif
Seperti zat yang memberi kesenangan, musik pun bekerja pada sistem syaraf manusia. Ia:
- Merangsang hormon dopamine (hormon senang)
- Menciptakan zona nyaman psikologis
- Mengaktifkan memori indah masa muda
- Memberi rasa hidup yang “berarti” walau semu
Jika ini dikonsumsi terus-menerus tanpa kesadaran ruhani, maka ia menjadi kebutuhan palsu yang sangat kuat, bahkan lebih kuat dari panggilan hati untuk bertobat.
Inilah yang menjelaskan mengapa seseorang yang sudah renta pun bisa tetap terikat dengan dunia musik.
Bukan karena tidak tahu ajal semakin dekat, tapi karena jiwanya sudah tertambat kuat pada dunia irama.
Tanda Jiwa yang Terlambat Tersadar
Ini sangat berbahaya jika tidak disadari. Karena:
- Kecintaan pada musik bisa menunda taubat
- Keterikatan dengan panggung bisa mengaburkan arah hidup
- Kesibukan seni bisa menggeser kesungguhan ibadah
Padahal, Rasulullah SAW telah bersabda:
“Gunakan lima perkara sebelum datang lima perkara: mudamu sebelum tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu luangmu sebelum sibukmu, hidupmu sebelum matimu.”
(HR. al-Hakim)
Musisi yang sudah lanjut usia tapi belum juga menepi, sejatinya sedang menunda-nunda kesadaran.
Mereka mungkin tak sadar bahwa irama yang dulu memuliakan, kini justru menunda kepulangan kepada Tuhan.
Renungan Bagi Kita: Apa yang Mengikat Jiwa Kita Hari Ini?
Fenomena ini menjadi peringatan keras bagi kita semua, bukan hanya musisi.
Karena setiap dari kita pasti memiliki “musik” masing-masing:
- Ada yang kecanduan kerja
- Ada yang kecanduan hobi
- Ada yang kecanduan popularitas
- Ada yang kecanduan scrolling, tontonan, atau hiburan
Apapun itu, jika sudah membuat kita sulit meninggalkannya demi Allah, maka itu adalah bentuk adiksi yang menyesatkan.
Waktunya Memutus Kecanduan Dunia
Saudaraku,
Hidup ini bukan panggung.
Kita bukan pemain utama dari lakon yang bisa kita atur sendiri.
Kita adalah hamba yang suatu saat akan dipanggil pulang.
Jika hari ini kita masih terikat dengan irama dunia, dengan gemerlap yang membius hati, maka inilah saatnya mengendurkan simpul itu.
Jangan tunggu tua.
Jangan tunggu sepi.
Jangan tunggu ajal mengetuk pintu, sementara kita masih asyik bernyanyi tanpa arah.
Penutup: Kembali ke Nada Ketundukan
Musik memang menyenangkan, tapi akhirat jauh lebih membahagiakan.
Panggung memang menghidupkan suasana, tapi sujudlah yang menghidupkan jiwa.
Lagu memang menggerakkan hati, tapi dzikir yang menyentuh ruh sejati.
Mari kita renungkan:
Apa yang akan kita dengar di ujung hayat nanti? Lagu kenangan… atau bisikan malaikat?
Apa yang akan kita nyanyikan di alam kubur? Syair dunia… atau kalimat syahadah?
Jika artikel ini menyentuh hatimu, sebarkanlah. Mari kita bantu mereka yang tersesat dalam gemerlap irama dunia untuk kembali ke suara hati yang mengajak pulang kepada Ilahi.
By: Andik Irawan