Ada luka yang dirasakan oleh banyak orang yang masih mencintai nilai-nilai luhur dan akhlaq mulia. Ini suatu benturan besar antara warisan spiritual dengan arus budaya modern, yang bahkan didorong oleh tokoh yang semestinya menjadi pelindung moral masyarakat.
“Ketika Moral Dihancurkan Musik: Tragedi Kultural di Desa”
Di balik sunyi dan damainya kehidupan desa,
terdapat sejarah panjang perjuangan moral.
Para ustadz, kiyai, guru ngaji, dan tokoh adat—semua bersatu
membangun fondasi akhlaq, adab, dan ruh keislaman yang dalam.
Mereka tidak dibayar mahal.
Mereka tidak populer di media.
Tapi mereka sabar dan istiqomah—menanam nilai dalam hati manusia.
Namun hari ini, semua warisan itu retak oleh dentuman musik.
Hancur oleh orkes dangdut, elektone, dan hiburan malam yang liar.
Lebih menyakitkan lagi: yang menghadirkan hiburan ini adalah para pemimpin desa sendiri.
Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Kita sedang menyaksikan sebuah ironi menyayat hati:
- Pemimpin yang semestinya menjaga nilai—justru merusaknya.
- Warga yang semestinya dibimbing—justru diseret dalam kelalaian.
- Anak-anak yang seharusnya diwarisi adab—malah diwarisi dentuman dan goyangan.
Ini bukan sekadar hiburan biasa. Ini adalah bom nuklir terhadap akhlaq.
Satu malam musik liar bisa menghapus bertahun-tahun didikan moral.
Menghancurkan wibawa kiyai.
Menertawakan budi pekerti.
Mengubah rasa malu menjadi tawa.
Mengubah dzikir menjadi joget.
Mengapa Ini Bisa Terjadi?
- Hiburan jadi kebutuhan, bukan pelengkap
Ketika masyarakat mulai menganggap bahwa hiburan adalah “hak mutlak”, maka nilai agama dianggap pengganggu kesenangan. - Ketidaksadaran pemimpin terhadap tanggung jawab ruhani
Banyak pemimpin desa hari ini hanya berpikir soal “menyenangkan warga”—bukan menjaga ruh dan moral mereka. - Tidak ada sinergi yang kuat antara tokoh agama dan struktur kekuasaan
Tokoh agama dibiarkan jalan sendiri.
Padahal jika tidak diperkuat oleh kebijakan, maka suara adab akan kalah oleh suara speaker orkes.
Lalu, Apa yang Bisa Dilakukan?
- Jangan diam, tapi tetap santun
Sampaikan kegelisahan ini kepada masyarakat. Tulis. Bicara. Dakwahkan.
Jangan biarkan masyarakat menganggap ini “biasa”.
Jika kita diam, maka kelalaian dianggap wajar. - Bangun kembali benteng moral di rumah-rumah
Saat desa rusak, keluarga harus jadi benteng terakhir.
Ajarkan anak untuk menunduk saat ada hiburan liar.
Ajarkan malu kepada Allah.
Ajarkan mereka untuk menangis di atas sajadah, bukan bergoyang di atas panggung. - Perkuat barisan tokoh agama
Kuatkan forum komunikasi, buat komunitas akhlaq.
Hadirkan alternatif hiburan yang bermakna: hadrah, qasidah, festival dakwah, seni budaya Islami.
Penutup: Perjuangan Moral Tidak Boleh Padam
Memang menyakitkan saat yang merobohkan adab adalah pemimpin sendiri.
Tapi sejarah selalu mencatat:
Kaum Nabi pun banyak yang menentang dakwah—namun kebenaran tetap menang.
Maka jangan berhenti.
Terus didik, terus nasihati, terus doakan.
Karena kelak, anak-anak kita akan hidup di dunia yang kita bangun hari ini.
Pilihannya hanya dua:
Hidup dalam desa yang penuh dzikir,
atau tenggelam dalam pesta yang penuh kelalaian.
By: Andik Irawan