Integrasi antara ilmu, amal, dan nilai kemanfaatan dalam Islam.
Kemuliaan di Mata Tuhan: Antara Ilmu, Kebodohan, dan Kemanfaatan bagi Sesama
Pendahuluan: Tidak Semua yang Cerdas Itu Mulia, Tidak Semua yang Bodoh Itu Rendah
Islam sangat menjunjung tinggi ilmu. Dalam banyak ayat Al-Qur’an dan hadits, orang-orang berilmu disebut memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(QS. Al-Mujadilah: 11)
Namun, dalam realitas sosial dan nilai ke-Tuhanan yang lebih luas, kemuliaan seseorang tidak hanya diukur dari tingginya ilmu, tapi juga dari tingginya manfaat yang dia berikan kepada manusia lain. Rasulullah SAW bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
(HR. Ahmad)
Maka, kemuliaan bukan hanya soal kepintaran, tapi juga soal kontribusi. Karena ilmu tanpa manfaat hanyalah kebanggaan kosong. Sebaliknya, bahkan orang yang tidak berpendidikan tinggi bisa sangat dimuliakan oleh Allah jika hidupnya penuh kemanfaatan bagi sesama.
Antara Akal dan Hati, Antara Ilmu dan Manfaat
Islam memuliakan akal dan hati sebagai dua pilar penting dalam hidup manusia:
- Akal (logika): digunakan untuk memahami, menganalisis, dan mencari kebenaran.
- Hati (rasa): digunakan untuk peka terhadap kebutuhan, empati, dan kasih sayang kepada sesama.
Namun, kedua hal ini—akal dan hati—baru bernilai jika menghasilkan manfaat nyata. Inilah mengapa dalam Islam, kebaikan tidak hanya dinilai dari isi kepala, tapi juga dari apa yang dilakukan tangan dan hati.
Kebodohan yang Mulia: Ketika Orang Awam Menjadi Sosok yang Bermanfaat
Banyak orang sederhana, bahkan tergolong “awam” atau kurang berpendidikan, tapi:
- Ia ringan tangan membantu tetangga.
- Ia jujur berdagang walau tidak hafal banyak dalil.
- Ia tulus menjaga anak yatim atau merawat orang tua.
- Ia menjaga lisan, menebar senyum, dan menenangkan yang resah.
Bukankah itu kemanfaatan nyata? Bukankah ia sedang menjalani Islam dengan perbuatan, bukan sekadar ucapan?
Maka meskipun ia bodoh secara akademik, jika hidupnya bermanfaat dan membawa kebaikan untuk orang lain, besar kemungkinan Allah muliakan ia karena perannya sebagai rahmat bagi lingkungan.
Konklusi: Ilmu adalah Jalan, Manfaat adalah Tujuan
- Orang berilmu tapi tidak bermanfaat, hanya menjadi menara gading yang tinggi tapi sunyi.
- Orang bodoh tapi penuh manfaat, bisa menjadi lentera kecil yang menerangi sekitar.
- Yang terbaik adalah: berilmu dan bermanfaat—itulah puncak kemuliaan.
💡 Maka nilai seorang manusia di hadapan Tuhan bukan semata pada tingginya gelar, tapi pada sejauh mana dirinya memberi kebaikan bagi makhluk-Nya.
Penutup: Jangan Meremehkan Siapapun
Jangan remehkan orang hanya karena ia tampak “bodoh” menurut standar dunia. Karena bisa jadi ia sedang menanam banyak pahala melalui manfaat yang ia berikan, walau tanpa kata-kata ilmiah.
Dan jangan terlalu bangga dengan ilmu jika belum menjadi manfaat. Karena ilmu yang tidak menghidupkan lingkungan sekitarnya, adalah ilmu yang belum menjadi cahaya.
“Jadilah seperti hujan: ke manapun jatuh, ia memberi kehidupan.”
By: Andik Irawan