Tertib Berorganisasi: Jalan Terhormat Menuju Masyarakat yang Bermartabat
Tertib berorganisasi adalah tanda peradaban. Ia mencerminkan kesadaran kolektif suatu masyarakat untuk membangun sistem yang adil, teratur, dan bertanggung jawab. Dalam lingkungan sosial seperti desa, organisasi memiliki peran vital sebagai wadah partisipasi, pengambilan keputusan, dan pelayanan publik. Maka ketika tertib organisasi tidak dijunjung, itulah awal dari kemunduran sosial yang menyedihkan.
Ketika Budaya Tertib Tak Dihargai
Sungguh patut disayangkan, ketika di suatu lingkungan desa, tidak ditemukan iklim tertib berorganisasi. Tidak ada rotasi jabatan. Tidak ada batasan peran. Maka yang terjadi adalah dominasi segelintir orang atas banyak peran dan posisi strategis dalam satu kawasan yang sama.
Fenomena rangkap jabatan oleh satu orang—menjadi ketua di sini, bendahara di sana, merangkap pula sebagai ketua lagi di organisasi lain dalam lingkup yang sama—bukanlah tanda kecakapan, tetapi cermin dari kerakusan dan krisis integritas. Ini bukan bentuk pengabdian, melainkan bentuk penguasaan. Ini bukan partisipasi, melainkan penjajahan atas hak-hak sosial warga lain.
Antara Ketidakterhormatan dan Kedholiman
Tindakan seperti itu sangat tidak terhormat. Ia melanggar prinsip-prinsip dasar dalam etika organisasi dan nilai-nilai keadilan. Bahkan dalam perspektif spiritual dan moral, itu tergolong sebagai bentuk kedholiman—yakni menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya, serta mengambil hak yang bukan miliknya.
Jabatan adalah amanah, bukan hak milik.
Siapa yang merangkap banyak jabatan demi kekuasaan, sesungguhnya ia sedang menumpuk beban hisab di hadapan Tuhan dan menyisakan luka sosial di hadapan rakyatnya.
Dampak Sosial yang Serius
Apa akibat dari praktik rangkap jabatan dan organisasi yang tidak tertib?
- ✅ Hilangnya kepercayaan publik terhadap struktur sosial
- ✅ Tertutupnya ruang bagi kaderisasi dan partisipasi warga
- ✅ Stagnasi ide dan inovasi organisasi
- ✅ Munculnya potensi konflik sosial akibat kecemburuan dan ketidakadilan
Ini bukan hanya tentang siapa yang duduk di kursi ketua, tetapi tentang kerapuhan struktur sosial yang berpotensi merusak kohesi masyarakat secara menyeluruh.
Solusi: Bangun Etika, Bukan Kuasa
Yang kita butuhkan bukan lebih banyak jabatan, tapi lebih banyak keteladanan.
Kita perlu kembali pada prinsip dasar berorganisasi:
- Bahwa setiap jabatan harus dibatasi, agar ada ruang bagi yang lain.
- Bahwa regenerasi adalah bagian dari kemajuan, bukan ancaman bagi eksistensi.
- Bahwa partisipasi adalah hak semua warga, bukan hak eksklusif elite tertentu.
Langkah-langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain:
- 🔹 Menyusun aturan organisasi yang jelas tentang batasan jabatan dan masa kepengurusan.
- 🔹 Mendorong musyawarah terbuka dalam pemilihan pengurus.
- 🔹 Mengadakan pendidikan organisasi bagi warga tentang pentingnya keadilan dan keterbukaan.
- 🔹 Melibatkan perangkat desa atau tokoh masyarakat sebagai penjaga etika organisasi.
Penutup: Berorganisasi dengan Amanah dan Adil
Budaya tertib dalam berorganisasi bukan sekadar formalitas struktural, tetapi adalah cerminan kedewasaan dan martabat sebuah masyarakat. Maka bila di suatu desa tidak dijumpai ketertiban dalam organisasi, patut dipertanyakan: di mana keadilan, di mana amanah, dan di mana semangat gotong royong yang sesungguhnya?
“Yang mulia dalam berorganisasi bukanlah yang memiliki banyak jabatan, tetapi yang mampu berbagi peran, memberi ruang, dan menjaga kepercayaan.”
Mari kita jaga marwah organisasi kita. Mari kita pilih jalan yang tertib, adil, dan bermartabat. Karena dari situlah sebuah desa tumbuh menjadi masyarakat yang kuat dan beradab.
By: Andik Irawan