Menjalankan Islam Secara Kaffah: Jalan Menuju Keberkahan Hidup

Bagikan Keteman :


Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh. Ia bukan sekadar agama ritual, tetapi juga sistem hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari ibadah pribadi hingga urusan sosial, ekonomi, hukum, bahkan kepemimpinan. Inilah makna dari Islam sebagai “dinul hayah”—agama kehidupan.

Namun, yang menjadi persoalan di banyak kalangan hari ini adalah pemahaman dan pengamalan Islam yang parsial. Banyak yang menjalankan ajaran Islam hanya pada aspek ritual semata, seperti salat, puasa, atau haji, tetapi abai terhadap ajaran muamalah—hubungan sosial dan ekonomi—seperti kejujuran dalam berdagang, menjauhi riba, menolak suap, dan menjunjung keadilan. Padahal, keberkahan hidup justru sangat erat kaitannya dengan komitmen total terhadap seluruh ajaran Islam.

Islam Menghendaki Totalitas, Bukan Parsialitas

Allah SWT dengan tegas memerintahkan:

“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.”
(QS. Al-Baqarah: 208)

Ayat ini menjadi peringatan bahwa Islam harus dipeluk dan dijalani secara utuh. Tidak cukup hanya salat lima waktu jika dalam praktik ekonomi masih menjalankan transaksi riba. Tidak cukup puasa Ramadhan jika dalam pekerjaan masih melakukan praktik suap atau korupsi. Islam bukan hanya apa yang tampak di masjid, tapi juga apa yang terjadi di pasar, kantor, dan ruang pengambilan keputusan.

Bahaya Memilah-Memilih Ajaran

Allah juga memperingatkan dalam firman-Nya:

“Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab dan ingkar kepada sebagian yang lain?”
(QS. Al-Baqarah: 85)

Ayat ini menyoroti kecenderungan manusia yang suka memilih-milih ajaran agama: menjalankan yang sesuai selera dan menghindari yang terasa berat. Banyak orang yang merasa cukup dengan amal-amal ritual, tetapi enggan ketika syariat menyentuh kenyamanan ekonominya. Misalnya, menolak meninggalkan riba karena merasa itu menyulitkan bisnisnya, atau tetap menyuap karena dianggap sebagai “pelicin” birokrasi.

Padahal, cara beragama seperti ini adalah bentuk penyimpangan dari totalitas Islam. Ia hanya menghasilkan agama sebagai simbol, bukan solusi.

Berkah Itu Hadir dari Ketaatan Total

Allah menjanjikan keberkahan bagi orang dan masyarakat yang menjalankan ajaran-Nya secara utuh:

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.”
(QS. Al-A’raf: 96)

Berkah bukan sekadar banyaknya harta atau tingginya jabatan, tetapi keadaan hidup yang penuh ketenangan, kemanfaatan, dan pertolongan Allah di segala situasi. Dan itu hanya bisa diraih bila iman dan ketakwaan diterapkan secara kaffah—menyeluruh, bukan sepotong-sepotong.

Ukuran Iman yang Sebenarnya

Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Tidak sempurna iman seseorang sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran Islam).”
(HR. al-Hakim)

Artinya, iman yang sejati adalah tunduk total kepada syariat, meskipun bertentangan dengan hawa nafsu, meski terasa berat, dan meski berisiko kehilangan keuntungan duniawi. Inilah ukuran kematangan spiritual seorang Muslim.

Penutup: Islam Bukan Prasmanan

Islam bukan prasmanan tempat kita bisa memilih sesuai selera. Islam adalah sistem hidup yang harus diterima dan dijalankan sepenuh hati, dengan komitmen dan ketundukan penuh. Menjalankan sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya hanya akan membuat hidup jauh dari berkah, masyarakat rentan rusak, dan agama kehilangan fungsinya sebagai rahmat bagi semesta.

Karena itu, jadikanlah Islam sebagai pedoman utuh dalam seluruh lini kehidupan, dari masjid hingga pasar, dari rumah hingga pemerintahan. Sebab keberkahan sejati hanya akan datang jika Islam dijalankan secara kaffah.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment