Loyalitas dalam Pergaulan: Ketika Prinsip Iman Harus Didahulukan

Bagikan Keteman :


Loyalitas dalam Pergaulan: Ketika Prinsip Iman Harus Didahulukan

Manusia adalah makhluk sosial. Dalam fitrahnya, ia membutuhkan pergaulan, komunitas, dan ruang kebersamaan. Di sanalah ada cinta, dukungan, dan loyalitas yang lahir karena interaksi dan ikatan hati. Namun, dalam Islam, loyalitas bukanlah sesuatu yang mutlak diberikan kepada siapa saja. Ia harus disandarkan pada nilai yang hakiki: ketaatan kepada Allah dan kebenaran agama-Nya.

Di sinilah kadang muncul dilema. Kita ingin menjadi bagian dari komunitas, menjalin persaudaraan, menebar kebahagiaan dalam kebersamaan. Tapi bagaimana jika komunitas itu tidak sejalan dalam hal paling prinsipil: yaitu komitmen menjalankan agama secara kaffah?


Antara Kesetiaan dan Ketaatan

Tak sedikit orang yang menjalankan agama hanya pada aspek ritual. Mereka salat, puasa, bahkan berangkat haji. Namun di sisi lain, mereka juga tetap melanggengkan praktik riba, suap, ketidakjujuran, dan kecurangan dalam muamalah. Dalam ucapan mungkin mereka mengaku taat, tapi perilaku mereka menunjukkan pemilahan syariat sesuai selera.

Sementara itu, kita berusaha bersungguh-sungguh menjalankan Islam secara menyeluruh. Tidak hanya salat dan puasa, tapi juga jujur dalam berdagang, menolak praktik haram dalam ekonomi, menjaga etika dalam bekerja. Lalu, bagaimana bisa loyalitas dan persahabatan dibangun jika nilai dasar ini saja tidak sejalan?


Wala’ wal Bara’: Loyalitas karena Allah

Dalam Islam, dikenal konsep wala’ wal bara’:

  • Wala’ adalah cinta, dukungan, dan kedekatan kepada siapa saja yang mencintai Allah dan menjunjung tinggi agama-Nya.
  • Bara’ adalah berlepas diri dari siapa pun dan apa pun yang menentang nilai-nilai Islam, meski itu teman lama atau lingkungan tempat kita tumbuh.

Allah berfirman:

“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaumnya: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah.’”
(QS. Al-Mumtahanah: 4)

Namun penting diingat, bara’ bukan kebencian personal, bukan permusuhan sosial tanpa sebab. Bara’ adalah sikap batin yang memutus loyalitas terhadap nilai-nilai yang bertentangan dengan syariat, sembari tetap menjaga akhlak, keadilan, dan silaturahmi.


Uzlah Sosial: Menjauh untuk Menjaga Iman

Jika pergaulan itu justru melemahkan iman, meracuni prinsip, dan menormalisasi kemaksiatan, maka menjauh (uzlah) adalah pilihan yang bijak. Nabi SAW bersabda:

“Akan datang kepada manusia suatu masa, di mana orang terbaik adalah yang menjauh ke gunung membawa kambing-kambingnya, menjauhi fitnah, dan menjaga agamanya.”
(HR. Bukhari)

Uzlah bukan berarti memutus silaturahmi sepenuhnya. Tetapi mengatur jarak, membatasi keterlibatan, dan membentengi diri dari pengaruh lingkungan yang merusak.


Kualitas Pergaulan Adalah Cermin Kualitas Iman

Allah SWT memerintahkan:

“Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.”
(QS. At-Taubah: 119)

Carilah komunitas yang:

  • Tulus menjalankan agama,
  • Menjauhi muamalah haram,
  • Saling menasihati dan meneguhkan iman.

Karena pergaulan bukan sekadar tempat kita tertawa dan bersenda gurau. Ia adalah cermin kehidupan, tempat nilai dibentuk dan keimanan diuji. Kita akan serupa dengan siapa kita bergaul.


Kesimpulan: Iman Harus Didahulukan, Meski Berarti Sendiri

Dalam dunia yang semakin bising dengan kepalsuan, kesetiaan kepada kebenaran seringkali mengharuskan kita untuk berbeda, bahkan sendiri. Tapi itu bukan kelemahan. Itu justru kekuatan: ketika kita memilih Allah di atas segalanya.

“Bergaullah dengan bijak. Tapi ketika prinsip agama dan iman dipermainkan, maka diam dan menjauh adalah bentuk ketegasan. Bukan kebencian, tapi kasih sayang yang menjaga diri dari kesesatan bersama.”


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment