Beragama Tanpa Kepedulian: Kebohongan yang Tak Bisa Disembunyikan dari Tuhan

Bagikan Keteman :


Beragama Tanpa Kepedulian: Kebohongan yang Tak Bisa Disembunyikan dari Tuhan

Manusia bisa berdusta di hadapan sesama. Ia bisa mengenakan pakaian agamis, menebar kata-kata religius, bahkan khusyuk dalam ibadah ritual. Tapi ada satu tempat di mana kebohongan itu tak bisa disembunyikan: di hadapan Tuhan.

Kejujuran dalam beragama tidak dinilai dari seberapa banyak kita berbicara tentang agama, tetapi dari seberapa besar agama itu mengubah cara kita memperlakukan sesama. Bila seseorang mengaku beriman, menyebut dirinya Muslim, dan tampak tekun beribadah, maka keimanannya seharusnya menjelma menjadi kasih sayang yang hidup—bukan sekadar hafalan dan seremonial.

Tanda Awal Iman: Kepedulian kepada Anak Yatim dan Orang Miskin

Dalam Islam, ukuran awal keimanan yang sejati justru diuji dalam perhatian kita kepada anak yatim dan orang miskin. Dua kelompok ini bukan hanya golongan yang lemah, tapi simbol dari panggilan nurani kemanusiaan.

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.”
(QS. Al-Ma’un: 1–3)

Ayat ini menyentak. Karena ternyata, pendusta agama bukanlah mereka yang tidak tahu dalil, tapi mereka yang menutup mata pada penderitaan di sekitar mereka. Bahkan jika seseorang salat dan puasa sekalipun, namun menelantarkan yang lemah, Allah menyebutnya sebagai pembohong dalam beragama.

Kepedulian yang Musiman adalah Kepedulian yang Palsu

Banyak orang yang baru tergerak memberi saat datang bulan Ramadhan. Sisa sebelas bulan lainnya—hening, tanpa empati. Sementara anak yatim tetap butuh makan, orang miskin tetap bergelut dengan kesulitan.

Kejujuran dalam iman bukanlah amal insidental, tapi kepedulian yang konsisten. Kasih sayang bukanlah program tahunan, melainkan sikap hidup harian.

Jika agama tidak membuat seseorang menjadi:

  • lebih dermawan,
  • lebih peduli,
  • lebih ringan tangan memberi hadiah,
  • dan lebih peka terhadap air mata orang lain,

…maka agama itu baru berhenti di lisan, belum menyentuh hati.

Berbohong kepada Diri Sendiri dan Tuhannya

Ketika seseorang beragama tapi tak peduli pada sesama, sebenarnya ia sedang:

  • berbohong pada Tuhannya, karena mengaku beriman tapi tak mencerminkan perintah-Nya,
  • berbohong pada dirinya sendiri, karena hidup dalam kepalsuan dan kontradiksi.

Agama, dalam bentuk yang paling murni, seharusnya menjadikan manusia lebih manusiawi. Jika agama membuat seseorang keras kepala, pelit, acuh tak acuh, maka yang salah bukan agamanya—tapi cara ia memperlakukan agama itu sendiri.

Kesimpulan: Agama yang Hidup dalam Tindakan

Beragama bukan soal menumpuk hafalan, tapi soal melatih hati untuk peduli. Yatim dan miskin adalah gerbang awal kepedulian, dan dari sana akan lahir kemuliaan-kemuliaan lain: belas kasih, keadilan, kemurahan hati, dan cinta yang nyata.

Iman tanpa kepedulian adalah kebohongan. Dan kebohongan itu, cepat atau lambat, akan terbuka di hadapan Tuhan.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment