Mayoritas Tapi Lemah: Ketika Islam Hanya Menjadi Simbol
Di atas kertas, umat Islam adalah mayoritas. Mereka tersebar di hampir seluruh penjuru dunia—dari Asia hingga Afrika, dari Timur Tengah hingga Eropa. Masjid menjulang megah, adzan berkumandang lima kali sehari, dan ritual keagamaan dilakukan secara massal di hari-hari besar. Namun, ada yang janggal dan mengusik nurani: mengapa umat yang begitu besar ini tampak lemah, tercerai-berai, dan tidak memiliki daya pengaruh yang berarti di panggung dunia?
Jawabannya bukan soal jumlah. Ini soal kualitas.
Seperti Buih di Lautan
Nabi Muhammad ﷺ telah jauh-jauh hari menggambarkan kondisi ini dalam haditsnya yang sangat terkenal:
“Hampir saja umat-umat lain saling memanggil satu sama lain untuk mengeroyok kalian, seperti orang-orang yang saling memanggil untuk makan dalam satu nampan.”
Sahabat bertanya, “Apakah karena jumlah kami sedikit saat itu, ya Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Bahkan kalian saat itu banyak, tetapi kalian seperti buih di lautan…”
(HR. Abu Dawud)
Buih di lautan—inilah perumpamaan tajam dari Rasulullah ﷺ untuk menggambarkan umat Islam yang besar secara jumlah, tapi tidak punya bobot kekuatan, tidak punya arah, dan tidak memberi pengaruh berarti.
Simbolik, Bukan Substantif
Masalah besar umat Islam hari ini adalah berislam secara simbolik. Islam hadir di KTP, pada logo, dalam acara seremonial, dan rutinitas ibadah. Tapi nilai-nilainya—kejujuran, keadilan, kesetaraan, keberanian, kasih sayang, dan kepemimpinan yang amanah—belum menyatu dalam cara berpikir, cara hidup, dan sistem sosial umat.
Kita terlalu sering berbangga dengan simbol keislaman, namun menutup mata terhadap substansi Islam yang sejati. Kita membangun masjid, tapi lalai membangun akhlak. Kita menjaga penampilan Islami, tapi korupsi dan kezaliman terus hidup dalam sistem yang kita biarkan berjalan.
Cinta Dunia dan Takut Mati
Rasulullah ﷺ juga menyebut penyebab lemahnya umat ini dengan satu kata kunci: wahn.
“Kalian akan dilanda penyakit ‘wahn’.”
“Apa itu wahai Rasulullah?”
“Cinta dunia dan takut mati.”
Ketika dunia menjadi tujuan utama, kekuasaan menjadi ajang perebutan, dan kemewahan menjadi ukuran kesuksesan, maka kekuatan ruhani umat akan melemah. Kita menjadi umat yang materialistik, kehilangan idealisme perjuangan, dan mudah diadu domba.
Persatuan yang Hilang
Persatuan adalah kekuatan, dan perpecahan adalah kehancuran. Tapi kenyataan hari ini: umat Islam terbelah-belah. Negara-negara Muslim berseteru, golongan-golongan saling mencaci, mazhab-mazhab saling curiga, bahkan ormas-ormas Islam sendiri saling menyalahkan.
Padahal Allah telah memperingatkan:
“Dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu.”
(QS. Ali Imran: 103)
Umat Islam hanya akan kuat jika mereka bersatu dalam visi dan misi: menegakkan keadilan, membangun peradaban, dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Bangkit dengan Islam yang Sejati
Islam bukan sekadar ibadah individual. Islam adalah sistem kehidupan yang membawa kebaikan dalam semua aspek: politik, ekonomi, pendidikan, militer, media, dan budaya. Ketika umat Islam mengembalikan kesungguhan dalam berislam secara kaffah (menyeluruh), maka kejayaan bukanlah mimpi.
Kita butuh:
- Ilmu yang kuat, bukan sekadar hafalan
- Kepemimpinan yang adil, bukan hanya berkedok religius
- Ekonomi umat yang mandiri, bukan tergantung pada sistem riba
- Akhlak yang hidup, bukan hanya simbol yang mati
Penutup: Saatnya Bangkit, Jangan Hanya Jadi Simbol
Jika umat Islam ingin kembali memegang peran penting dalam sejarah dunia, maka harus dimulai dari dalam diri: berhenti puas dengan simbol, dan mulai hidup dengan substansi. Bukan sekadar Muslim karena keturunan atau kebiasaan, tapi karena kesadaran, keyakinan, dan perjuangan.
“Berislam bukan hanya tentang menjalankan ritual, tapi membangun peradaban.”
“Mayoritas bukan kemenangan, jika tanpa iman, ilmu, dan persatuan.”
Inilah saatnya kita berhenti menjadi buih yang terombang-ambing. Kita harus menjadi ombak yang bergerak bersama menuju perubahan besar. Kembali kepada petunjuk Tuhan dan Rasul-Nya—itulah kekuatan sejati umat ini.
By: Andik Irawan