Ritual Suci yang Kehilangan Substansi: Ketika Agama Tak Lagi Membela Kaum Lemah

Bagikan Keteman :

Ritual Suci yang Kehilangan Substansi: Ketika Agama Tak Lagi Membela Kaum Lemah

Dalam Islam, semua bentuk ibadah ritual—sholat, puasa, haji, zakat, dan dzikir—adalah amalan suci yang agung. Ia adalah bentuk penghormatan tertinggi seorang hamba kepada Tuhannya. Ia juga merupakan simbol ketundukan, penghambaan, dan kesadaran spiritual.

Namun, jika tidak disertai pemahaman yang mendalam, ritual-ritual itu bisa berubah menjadi rutinitas simbolik yang kehilangan ruh dan makna. Terutama jika tidak lagi menyentuh urusan kemanusiaan dan keadilan sosial.


Ketika Simbol Mengalahkan Substansi

Islam bukan hanya agama langit yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (hablum minallah), tetapi juga agama bumi—yang mengatur hubungan manusia dengan manusia (hablum minannas). Maka sangat disayangkan, jika di tengah masjid yang megah, suara adzan yang menggema, dan aktivitas ibadah yang ramai, kaum miskin dan anak yatim justru tak mendapatkan tempat.

Contoh paling nyata:

  • Takmir masjid hanya sibuk mengatur jadwal khatib dan imam, tapi tidak punya program tetap santunan dhuafa.
  • Musholla ramai saat sholat, tapi anak-anak yatim sekitar tetap telantar dan tidak disekolahkan.
  • Dana infak dan sedekah hanya digunakan untuk perbaikan fisik bangunan, tapi tidak dialokasikan untuk perbaikan hidup manusia.

Inilah agama yang terjebak pada simbol, bukan pada substansi. Masjid menjadi tempat ritual semata, bukan pusat kepedulian dan peradaban seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ.


Rasulullah ﷺ: Simbol Agama yang Bergerak untuk Kaum Lemah

Dalam sirah Nabi, kita mendapati bahwa Rasulullah ﷺ adalah pemimpin ibadah dan sekaligus pembela kaum papa. Beliau tidak hanya memimpin sholat lima waktu di Masjid Nabawi, tapi juga:

  • Mengatur distribusi zakat untuk para fakir dan miskin
  • Memastikan kebutuhan anak-anak yatim terpenuhi
  • Mengunjungi rumah-rumah janda dan membantu mereka
  • Mengutus sahabat untuk mengajar, mengobati, dan menolong masyarakat

Dengan kata lain, agama tidak berhenti di sajadah, tapi meluas ke perut-perut yang lapar, ke anak-anak yang putus sekolah, ke janda-janda yang tak berdaya, dan ke masyarakat yang tersingkirkan.


Mengapa Ini Terjadi?

Kondisi agama yang tinggal simbol dan ritual terjadi karena beberapa sebab:

  1. Pemahaman agama yang parsial – Banyak yang memahami Islam hanya sebatas ibadah pribadi, padahal Islam adalah sistem hidup yang menyeluruh.
  2. Kepemimpinan keagamaan yang stagnan – Lembaga-lembaga keagamaan tidak progresif, lebih sibuk mengelola jadwal ceramah daripada mengelola problem sosial umat.
  3. Kurangnya sensitivitas sosial – Ritual tanpa kesadaran bisa membuat hati beku. Ibadah kehilangan efek transformasinya.

Kata Allah: Ibadahmu Tidak Cukup Tanpa Peduli Sosial

Allah SWT telah memperingatkan secara tegas dalam Al-Qur’an:

“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.”
(QS. Al-Ma’un: 1–3)

Ayat ini menegaskan: orang yang mengabaikan kaum miskin dan yatim piatu, meski rajin beribadah, adalah pendusta agama.


Penutup: Saatnya Kembali ke Esensi Islam

“Islam bukan hanya soal sujud, tapi soal siapa yang kau bantu bangkit.”
“Masjid bukan hanya tempat sholat, tapi benteng pembela kaum lemah.”
“Agama bukan hanya suara adzan, tapi suara hati yang peduli sesama.”

Sudah saatnya DKM, Takmir masjid, dan lembaga-lembaga keagamaan tidak hanya fokus pada kegiatan seremonial, tapi juga merancang program-program nyata yang menyentuh:

  • Pendidikan anak-anak miskin
  • Kesehatan warga kurang mampu
  • Sandang dan pangan bagi fakir miskin
  • Konseling dan pendampingan keluarga miskin

Jika ini dilakukan, barulah agama tidak tinggal di simbol, tapi hidup dalam ruh dan cinta kasih. Islam akan kembali menjadi cahaya kehidupan, bukan hanya ritual semata.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment