Hidupku yang Kedua: Dari Ujian, Menuju Keteguhan dan Kemuliaan
Setelah setahun penuh tubuhku dirundung sakit, nyaris tak bisa melakukan apapun, saat kesembuhan itu datang—aku sadar: inilah hidupku yang kedua.
Sejak hari itu, aku berjanji dalam hati, hidup yang baru ini harus kujalani dengan lebih hati-hati, lebih bijaksana, dan lebih dekat kepada Tuhan. Aku tidak ingin menyia-nyiakan anugerah kesempatan kedua ini. Tugas pertama dan utama yang aku pegang teguh adalah menunaikan tanggung jawabku sebagai ayah dan suami, sesuatu yang selama aku sakit tak mampu aku jalani.
Anak dan istriku adalah titipan suci dari Allah. Selama setahun sebelumnya, aku hanya bisa menyaksikan mereka dalam keterbatasan, tak berdaya memberi nafkah maupun pelukan hangat yang tulus. Maka kini, ketika aku telah bangkit, aku bertekad akan menebus semuanya dengan usaha terbaikku.
Modal dari seorang sahabat menjadi pelita pertama di kegelapan hidupku yang mulai terang kembali. Berbekal dukungan itu, aku membuka kedai kopi sederhana di kawasan Terminal Benowo. Tempat yang mungkin tak bergengsi, tapi penuh harapan. Setahun di sana, aku lalu pindah ke Simo Katrungan Kidul, Surabaya. Tak terasa, lima tahun aku bertahan sebagai wirausahawan, jatuh bangun kualami, tapi semuanya kumanfaatkan sebagai pelatihan jiwa dan akal.
Namun akhirnya, aku merasa rindu akan kedamaian desa. Aku pulang. Aku ingin mengabdi di tanah kelahiranku sendiri. Kini aku menjalani hari-hariku sebagai perangkat desa. Sebuah pekerjaan yang walau tak gemerlap, namun menenangkan hati dan mendekatkan diri pada nilai-nilai hidup yang sederhana dan hakiki.
Tinggal di desa bersama anak dan istriku membentuk harmoni baru dalam hidupku. Di tengah suasana yang tenang, akrab, dan saling mendukung dari tetangga, sahabat, dan kerabat, jiwaku merasa damai. Aku bisa lebih dekat dengan anakku, lebih intens mendidiknya, membimbingnya, dan yang terpenting: menyentuh hatinya dengan kasih sayang seorang ayah.
Anakku kini telah berusia 11 tahun. Alhamdulillah, kami sudah bisa tinggal di rumah kecil milik sendiri. Dulu kami menumpang di rumah orang tua. Kini, berkat pertolongan Allah dan kerja keras, kami sudah memiliki tempat tinggal sendiri yang hangat, sederhana, namun penuh cinta.
Aku pernah berada di titik terendah. Aku sudah terlalu kenyang dengan hinaan, ejekan, fitnahan—bahkan dari orang-orang yang seharusnya paling dekat dan memahami. Tapi justru di sanalah aku belajar, bahwa kesabaran adalah senjata paling tajam, bahkan jauh lebih kuat dari seribu pembelaan.
Dan kini, perlahan segalanya berubah. Yang dulu menghina, kini memuji. Yang dulu mencibir, kini menyanjung. Tapi bagiku, yang paling penting bukan pandangan manusia, melainkan ridha Tuhan. Dialah sebaik-baik penolong dan sebaik-baik perencana kehidupan.
Hingga detik ini, aku belajar bahwa doa adalah kunci segala kebangkitan. Dalam segala kesulitan, aku memilih untuk terus berdoa, bukan sekali dua kali, tetapi setiap hari—tanpa henti. Sebab aku yakin, jika seorang hamba mengetuk pintu langit dengan sepenuh hati, Tuhan akan membukakan jalan bahkan dari arah yang tak terduga.
By: Andik Irawan