“Hidupku yang Kedua: Menemukan Terang Setelah Gelap”

Bagikan Keteman :


“Hidupku yang Kedua: Menemukan Terang Setelah Gelap”


đź“– Daftar Bab:

Bab 1: Serambi Masjid dan Cahaya Kecil Masa Kecilku

Di sinilah semua bermula. Masa kecilku diwarnai oleh kesederhanaan dan cahaya Al-Qur’an. Ayah mendaftarkanku mengaji di serambi masjid bersama para guru mulia: Bapak Ya’kub, Samukit, Mujaizin, Munajib, Sabikin, dan H. Munir Abbas. Maghrib hingga Isya adalah waktu suci, waktu belajar dan menyerap nur Ilahi. Namun zaman perlahan berubah, serambi mulai sepi, dan aku mencoba menjaga cahaya itu tetap menyala.

Bab 2: Menghidupkan Kembali Serambi yang Sepi

Kala generasiku usai, tak ada lagi bocah kecil mengaji di masjid. Tapi aku tak rela melihat tempat yang pernah membesarkanku menjadi sunyi. Aku datang ke masjid setiap Maghrib—sendiri. Tak kusangka, perlahan anak-anak mulai ikut. Dari satu jadi dua, lalu puluhan, hingga nyaris seratus. Aku membimbing mereka, membagi mereka ke dalam kelompok, mengangkat para senior kecil sebagai pembina. Aku tak menyadari, itu semua telah kujalani selama enam tahun—hingga hari aku harus pergi merantau.

Bab 3: Ujian dari Tuhan—Tubuhku yang Terlipat

Di Surabaya, ujian besar menimpaku. Sekitar usia 24 tahun, tubuhku tiba-tiba membungkuk ekstrim. Duduk tak bisa, tidur tak mampu—yang bisa hanya “melungker”, menggeliat dengan tubuh yang nyeri luar biasa. Sakit yang tak ada jedanya, dari Maghrib hingga Subuh. Semua pengobatan sudah aku tempuh, namun nihil. Aku menyerah pada pengobatan, tapi tidak menyerah pada Tuhan. Aku ikhlas, tapi tidak pasrah. Di situlah aku mulai melawan dalam diam.

Bab 4: Dzikir Tanpa Tidur—Riyadho Melawan yang Ghaib

Berbagai dugaan muncul: ini bukan sakit biasa, mungkin kiriman orang, mungkin akibat ilmu hitam. Tapi hatiku tak ingin membalas. Aku hanya ingin melawan dengan cara yang suci—dengan dzikir dan bangun malam. Aku bernazar tak akan tidur sedetikpun, selama mata ini kuat terbuka, dan akan terus berdzikir memohon pertolongan-Nya. Tiga hari tiga malam aku berjaga, hingga akhirnya… sebuah mimpi datang.

Bab 5: Mimpi, Muluet, dan Keajaiban Kecil

Dalam mimpi, aku melihat sosok-sosok aneh menjauh dariku. Dan saat aku terbangun, tubuhku terasa lebih ringan. Aneh, tapi aku bisa “muluet”—sebuah keajaiban kecil. Sejak itu aku lanjutkan dengan terapi gerakan sholat. Tanpa obat, tanpa operasi—Tuhan menyembuhkanku. Sebuah karomah hidup yang tak akan pernah kulupakan.

Bab 6: Hidupku yang Kedua

Kusambut kehidupan ini sebagai hidupku yang kedua. Lebih sujud, lebih rendah hati, lebih bertanggung jawab. Anakku yang sempat kutinggalkan karena sakit, kini menjadi pusat semangatku. Aku mulai bangkit dengan membuka kedai kopi kecil di Terminal Benowo. Lalu pindah ke Simo Katrungan, bertahan lima tahun sebagai pedagang mandiri. Dari titik nol, aku berusaha bangkit sedikit demi sedikit.

Bab 7: Pulang—Ketika Damai Berada di Desa

Akhirnya aku memutuskan pulang ke desa. Tidak untuk menyerah, tapi untuk menemukan kedamaian dan pengabdian yang sejati. Kini aku menjadi perangkat desa—tugas yang tak bergengsi tapi membahagiakan. Aku bisa membersamai anakku, mendidiknya dengan penuh kasih, tak hanya dengan kata-kata, tapi dengan kehadiran.

Bab 8: Dari Hinaan ke Sanjungan

Satu hal yang menyakitkan adalah: saat hinaan datang bukan dari musuh, tapi dari mereka yang dekat. Tapi kesabaran adalah senjata yang paling ampuh. Aku memilih diam. Dan waktu membuktikan segalanya. Kini, yang dulu menghina mulai menyapa dengan hormat. Yang dulu memfitnah, kini melihat dengan kagum. Tapi aku tahu, ini bukan tentang mereka. Ini tentang Tuhan yang mengangkatku dengan caranya sendiri.

Bab 9: Rumah Kecil, Doa yang Besar

Kini, di usia anakku yang ke-11, kami tinggal di rumah kami sendiri. Bukan rumah mewah, tapi rumah penuh cinta. Aku mengukir sejarah hidup kami bukan dengan kemewahan, tapi dengan kesungguhan, doa, dan perjuangan. Aku yakin: ketekunan dalam doa adalah jembatan menuju pertolongan.

Bab 10: Terus Melangkah dalam Doa

Hari-hariku sekarang adalah lembaran-lembaran syukur. Doa tak pernah berhenti. Sebab aku tahu, segala kekuatan, segala keberkahan, dan segala perubahan dalam hidup ini… bukan hasil kerja keras semata, tapi karena tangan Tuhan yang penuh kasih.


🌿 Penutup:

“Hidupku yang Kedua” bukan hanya kisah tentang sakit dan sembuh. Ini kisah tentang kejatuhan dan kebangkitan, tentang hujatan yang berubah menjadi hormat, tentang seorang hamba yang tak lelah berharap dan percaya bahwa Tuhan tak pernah tidur.”


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment