Perang Sunyi—Ketika Jiwa Melawan yang Tak Terlihat

Bagikan Keteman :


Di titik paling rapuh dalam hidupku, aku diseret oleh waktu ke lorong panjang penderitaan. Tubuhku lunglai, sakitku tak kunjung reda. Berbulan-bulan aku menjadi penghuni tetap kasur, tanpa kejelasan nama penyakit. Medis tak memberi kepastian, dan tak sedikit dari keluarga maupun kerabat yang kemudian menyarankan jalur pengobatan alternatif.

Aku pun menempuh jalur itu—satu per satu tabib kudatangi, di kota maupun desa. Ada yang membaca ayat-ayat, ada yang meraba denyut nadi, bahkan ada yang hanya melihat dan langsung bicara. Tapi hampir semua dari mereka menyampaikan hal yang senada: “Ini bukan sakit biasa… Ini ada unsur mistisnya…”

Awalnya aku bingung. Namun karena hampir semua tabib menyuarakan hal serupa, hatiku mulai mengiyakan secara logis. Aku ini seorang muslim. Aku tahu bahwa jin itu ada. Dan dalam realitas kehidupan, tak semua makhluk halus bersifat baik—ada juga yang zalim, yang jahat. Maka mungkin saja, aku memang sedang disakiti oleh entitas tak kasatmata.

Dari sinilah benakku memutar roda logika: jika benar ini kiriman gaib, dan aku menderita karenanya, maka berarti aku sedang dikalahkan… sedang ditundukkan. Maka dalam diam, aku mencoba menerima kekalahan itu. Seperti dalam laga apapun, yang kalah harus tahu diri. Harus tahu bagaimana bersikap terhadap yang menang. Aku, yang tak berdaya, menghormati “sosok yang mengalahkanku”, entah apa dan siapa mereka. Sebab kekalahan kadang harus diterima dahulu sebelum mampu disikapi dengan bijak.

Namun berlalunya waktu justru menumbuhkan sesuatu dalam jiwaku—semacam bara yang kecil tapi hidup. Muncullah lintasan lain dalam hatiku: Apakah aku akan terus kalah? Haruskah aku diam dan hormat dalam posisi terinjak? Tidakkah aku bisa bangkit, dan melawan, walau tanpa senjata?

Aku ingin mencoba perlawanan. Tapi dengan apa? Lawanku bukan manusia. Bukan benda yang bisa disentuh atau dilawan dengan fisik. Maka aku putuskan: aku akan melawan secara spiritual. Jika mereka adalah makhluk spiritual, maka aku pun akan melawannya dengan senjata yang sama—kekuatan spiritualku. Aku akan menyusuri jalan zikir dengan tekad seorang pejuang. Aku akan mendekat kepada Tuhanku sekuat mungkin. Dan aku akan tempuh jalur itu dengan segala kemampuanku…

Maka dimulailah pertarungan sunyi itu. Tiga hari tiga malam aku berjaga. Tidak tidur, tidak rebah, tidak membiarkan kantuk menyentuh kelopak mataku. Aku isi waktuku dengan dzikir yang terus mengalir dari hati, menolak terputus. Kukunci pikiranku hanya pada satu: Allah. Mataku memerah, tubuhku gemetar, tapi jiwaku menyala. Bukan karena aku kuat, tetapi karena aku memilih untuk bertahan.

Tiga hari tiga malam berlalu. Di akhir malam ketiga, tubuhku nyaris tak sanggup berdiri. Tapi hatiku terasa… ringan. Ada sesuatu yang berubah. Bukan sakitku yang hilang, tapi seperti ada bagian dari jiwaku yang baru tumbuh. Aku merasa menang. Bukan atas jin, bukan atas misteri, tapi atas diriku sendiri. Aku tidak tunduk. Aku tidak hancur.

Dan andai benar ini perang spiritual, maka—sebagaimana dalam hukum perang—yang kalah sepatutnya tunduk kepada yang menang. Jika sebelumnya aku yang tunduk, kini aku merasa telah membalikkan keadaan.

Sejak saat itu, keyakinanku terhadap kekuatan spiritual semakin kokoh. Aku tak lagi mempersoalkan bagaimana caranya sembuh. Sebab yang lebih penting dari kesembuhan tubuh adalah kemenangan jiwa—bahwa aku telah bangkit, telah memilih berpihak pada Tauhid, dan telah melawan kelemahan yang selama ini membelengguku.

Kemenangan itu bukan dalam bentuk tepuk tangan atau sorak-sorai. Tapi dalam bentuk ketenangan yang dalam, keyakinan yang utuh, dan rasa damai yang tak bisa dijelaskan—bahwa yang memegang seluruh takdir hanyalah Allah, dan hanya kepada-Nya-lah aku berserah.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment