Gagahnya Hati di Tengah Badai

Bagikan Keteman :

Waktu terus berjalan, dan sakit yang ku derita belum menunjukkan tanda-tanda akan pergi. Hampir satu tahun lamanya tubuhku hidup dalam keterbatasan. Tapi yang lebih berat dari sekadar rasa sakit di tubuh, adalah pertarungan senyap yang berlangsung di dalam dada—di ruang sunyi yang hanya bisa dirasakan olehku dan Tuhanku.

Semakin hari, semakin sering hatiku diserang oleh lintasan-lintasan kecemasan yang datang beruntun, seperti gelombang besar menghantam pantai rapuh. Bukan cemas biasa, tapi kekhawatiran yang terasa masuk akal, nyata, dan menekan. “Bagaimana jika sakit ini tak bisa sembuh? Bagaimana jika aku benar-benar cacat? Kalau aku cacat, aku tak bisa bekerja… Kalau aku tak bisa bekerja, bagaimana aku memberi nafkah kepada anak dan istriku? Bagaimana jika istriku tak kuat lalu memilih meninggalkanku? Jika semua orang pergi, aku tinggal dengan siapa? Kalau aku tak punya siapa-siapa, aku makan apa? Aku minta tolong pada siapa? Akankah aku mati perlahan dalam kelaparan dan kesendirian?”

Semua pertanyaan itu datang seperti banjir, tak memberiku waktu untuk bernapas. Tapi di saat bersamaan, ada sesuatu dalam jiwaku yang bangkit. Sebuah suara hati yang kokoh, suara keberanian yang tak dibuat-buat. Suara itulah yang menjawab satu per satu semua pertanyaan dengan tenang namun tegas.

“Kalau aku tidak sembuh? Tak apa. Aku akan jalani. Kalau aku cacat? Aku terima. Kalau aku tak bisa bekerja? Aku akan hadapi. Jika istriku memilih pergi? Aku ikhlaskan. Jika aku harus hidup sendiri? Aku akan belajar menikmati kesendirian. Jika tak ada makanan? Aku akan minum air putih. Jika tubuhku melemah karena lapar? Aku akan diam dalam doa. Jika aku mati karena semua itu? Maka aku akan menyambut kematianku sebagai jalan pulang kepada Tuhanku. Semoga Dia mengampuniku, memelukku, dan mencukupkan segalanya yang telah kulalui…”

Sejak itulah, dadaku terasa lapang. Langit dalam hatiku menjadi cerah, meski langit kehidupan di sekitarku masih tampak kelam. Aku tidak lagi takut. Bukan karena sakitku menghilang. Bukan karena keadaan membaik. Tapi karena aku telah membuat pilihan batin: untuk berani, untuk kuat, untuk merdeka dari ketakutan.

Dan sungguh, saat hati sudah berdamai dengan kemungkinan terburuk, saat kita tidak lagi sibuk menolak takdir, saat itulah hidup justru menjadi terang. Hati tidak lagi gentar. Ketakutan tidak lagi punya tempat. Karena semuanya sudah dijawab—dengan keberanian dan keyakinan.

Ini bukan kisah orang yang sembuh. Ini kisah tentang orang yang kuat meski belum sembuh. Ini bukan kisah tentang keajaiban fisik, tapi tentang keajaiban jiwa—jiwa yang memilih gagah di tengah badai, yang tidak menyerah pada bayang-bayang masa depan, dan tetap menyala walau tubuh lelah.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment