Ketika Cinta Bertemu Takdir

Bagikan Keteman :


Ketika Cinta Bertemu Takdir

Cinta seringkali datang tidak dengan gempita. Tidak dengan kembang api atau lagu-lagu romantis. Kadang ia datang diam-diam, mengendap seperti embun di pagi hari—nyaris tak terlihat tapi memberi kesejukan yang nyata.

Begitulah kisahku dimulai. Sekitar tiga bulan lamanya aku bersahabat dengan seorang gadis. Bukan persahabatan yang dibumbui rayuan atau gombalan sebagaimana lazimnya anak muda. Persahabatan kami murni, tulus, ringan—dilandasi semangat saling membantu. Kadang aku mengantarnya ke toko buku, kadang ke kantor-kantor kampus untuk mengurus tugas-tugasnya. Tak lebih dari itu.

Tapi seperti jalan landai yang tampaknya tenang tapi perlahan membawa langkah menurun ke arah tertentu, begitu pula perasaan kami. Tanpa kami sadari, kebersamaan yang sederhana itu perlahan berubah menjadi keterikatan yang dalam. Ada rasa saling nyaman. Saling memahami. Dan akhirnya, saling jatuh cinta.

Namun cinta kami belum pernah disuarakan secara langsung. Hingga pada suatu sore yang tak pernah kulupa sepanjang hidupku, aku berkunjung ke rumah sahabatku itu. Sebuah kunjungan biasa yang ternyata menjadi momen penentu dalam hidupku.

Saat itu, aku diminta duduk di ruang tamu bersama ayah dan ibunya. Suasananya hangat tapi kemudian berubah menjadi penuh kejutan. Sang ayah, dengan tatapan tajam dan suara tenang namun tegas, menatapku dan bertanya:

“Nak, apa benar kamu suka dengan anak gadis saya?”

Pertanyaan itu terasa seperti kilat di siang bolong. Tegas. Langsung. Tanpa basa-basi.

Tapi anehnya, aku tidak gemetar. Tidak gugup. Aku menjawab tanpa keraguan:

“Benar, Pak. Saya suka anak gadis Bapak.”

Dan yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar dugaanku. Sang ayah mengangguk, lalu berkata:

“Kalau begitu, kami tidak keberatan. Kalau kalian memang saling suka, menikahlah. Kami sebagai orang tua merestui. InsyaAllah barokah.”

Kalimat itu seperti petir kedua—bukan menghancurkan, tapi menyadarkan. Aku terpaku. Otakku seperti ruang pertempuran. Hati dan pikiran saling berdebat. Aku masih sangat muda. Belum mapan secara ekonomi. Masa depanku masih samar. Apa aku sanggup menanggung beban rumah tangga?

Tapi dalam detik-detik krusial itu, bukan akalku yang mengambil keputusan. Yang bicara justru adalah akidahku.

Dalam hati aku merenung cepat: Berumah tangga adalah ibadah. Ibadah yang mulia. Jika semua orang pasti akan menempuhnya, mengapa aku harus mundur? Bukankah Allah yang memberi rezeki?

Dan dengan hati penuh pasrah dan harap kepada Tuhan, aku berkata dalam hati:

“Bismillah. Tuhan, Engkau Maha Pemberi. Jika ini jalan yang Engkau bukakan, aku akan melangkah.”

Lalu dengan suara mantap, aku jawab:

“Siap, Pak. Saya setuju dengan usulan Bapak. Saya siap menikah dengan anak Bapak.”

Tak ada perayaan besar, tak ada sorak sorai. Tapi ada getar bahagia yang tak bisa dijelaskan. Dalam sebulan, kami mempersiapkan semuanya. Dan kemudian, atas izin Allah, kami pun menikah.

Kini, tanpa terasa, perjalanan rumah tangga kami telah mencapai usia 25 tahun. Sebuah perjalanan panjang yang penuh warna—kadang terang, kadang mendung, tapi selalu dalam lindungan barokah-Nya.

Kami belajar saling menguatkan. Belajar mencintai bukan hanya di kala bahagia, tapi juga di tengah kesulitan. Dan semua itu berakar dari satu keputusan kecil di sore hari yang tenang, saat cinta bertemu dengan keberanian dan keyakinan.

Semoga rumah tangga kami terus langgeng. Dan semoga cinta yang kami rawat di dunia ini, kelak bersambung indah di surga-Nya. Aamiin.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment