Membawa Diri di Tanah Rantau – Dari Pisau di Leher hingga Menjadi Sahabat Kehidupan

Bagikan Keteman :


Lulus SMA, aku memutuskan hijrah ke kota. Surabaya menjadi tempat perantauan pertamaku. Kota besar yang ramai, panas, dan keras. Bagiku yang masih belia, usia baru saja melewati gerbang remaja, hidup di kota seperti Surabaya adalah perjuangan mental dan spiritual yang tidak mudah.

Aku tinggal di kos-kosan bersama orang-orang asing, tidak ada satupun yang kukenal sebelumnya. Kami berasal dari latar belakang dan budaya berbeda, dengan karakter dan cara pandang hidup masing-masing. Jika tidak pandai membawa diri, bisa celaka sendiri. Dan benar saja, hidup bersama orang asing bukan hanya perkara berbagi kamar, tapi soal menjaga lisan, mengatur emosi, dan cermat dalam bersikap.

Aku pernah mengalami kejadian paling menegangkan dalam hidupku—sesuatu yang hingga kini masih membekas. Hanya karena persoalan sepele, karena aku menegur seseorang yang sedang gaduh di waktu istirahat, ia marah besar dan tanpa kuduga langsung menempelkan sebilah pisau ke leherku. Saat itu, aku benar-benar merasa hidupku di ujung tanduk. Sekejap saja, nyawaku bisa melayang. Tapi mungkin karena aku tak melawan dan tetap tenang, Tuhan masih menyelamatkanku.

Itulah kerasnya hidup di tanah rantau.

Di sisi lain, aku juga pernah menjadi korban hipnotis, gendam. Saat itu jiwaku sedang kosong, tidak kuat pondasi akidah dan tauhidnya. Orang asing yang berniat jahat bisa dengan mudah menguasai pikiranku. Aku menjadi mudah diarahkan, bahkan dimanfaatkan. Baru setelah insiden itu aku benar-benar sadar: jika tidak memiliki kekuatan iman, kita bisa terseret ke dalam jurang gelap tanpa sadar.

Aku melanjutkan hidupku di kota dengan membuka usaha kecil-kecilan. Dunia warkop menjadi jalanku. Kedai kopi sederhana, tempat orang-orang dari berbagai latar berkumpul, ngobrol, atau sekadar mencari kopi pengisi malam. Tapi jangan bayangkan dunia warkop adalah dunia yang tenang dan bersahabat. Dunia ini keras. Sangat keras.

Yang paling sering jadi masalah adalah perkara “ngebon”—hutang pelanggan. Ini momok semua pemilik warkop. Di awal-awal, aku sempat kesal, bahkan ingin mengusir pelanggan yang tak kunjung membayar. Tapi seiring waktu, aku belajar banyak.

Aku belajar bahwa pelanggan adalah raja. Mereka harus dihormati. Mereka datang bukan hanya membeli kopi, tapi membawa cerita, membawa beban, membawa sisi manusiawi yang tidak selalu kelihatan. Seorang pelanggan yang sering ngebon bisa jadi sedang kesulitan. Bisa jadi sedang berjuang hidup sama kerasnya dengan diriku.

Pelajaran terpenting: jangan menagih hutang di depan umum. Itu menampar harga diri mereka. Aku belajar untuk menagih dengan cara yang santun, saat hanya berdua, dengan bahasa yang tetap menjaga kehormatan mereka. Jika kita jaga martabat pelanggan, mereka pun akan balik menghargai kita.

Selama kurang lebih 10 tahun aku menjalani hidup sebagai pengusaha warkop. Sepuluh tahun penuh cerita. Sepuluh tahun penuh pelajaran tentang bagaimana menjadi manusia yang sabar, bijak, dan tahu menempatkan diri.

Dunia warkop adalah dunia jalanan. Tempat segala jenis orang berkumpul. Di sana ada yang baik, ada yang buruk, ada yang tersesat dan ingin pulang, ada pula yang tak tahu arah. Jika kita tak punya prinsip yang kuat, kita bisa hanyut. Tapi jika kita teguh dan kokoh, justru arus itu akan terbawa oleh kita, menuju kebaikan.

Aku bangga melihat kawan-kawan sesama pengusaha warkop yang masih mampu menjaga shalatnya di tengah kesibukan dan gangguan dunia malam. Itu sangat berat. Sangat sulit. Tapi bagi yang berhasil, aku benar-benar menghormati dan mengagumi mereka. Mereka adalah pejuang sejati.

Aku juga ingin mengingatkan—bukan menghakimi—kepada para saudara seprofesi: jangan tergoda dengan jalan pintas yang penuh syirik. Jangan mencari penglaris lewat cara-cara klenik, mistik, atau pesugihan. Dunia warkop memang keras, tapi jangan biarkan hatimu menjadi keras pula. Tetaplah jernih. Tetaplah percaya, bahwa rezeki yang datang dari Allah, walau perlahan, pasti membawa berkah yang tak pernah habis.

Aku berdoa, semoga semua pengusaha warkop di mana pun berada dijaga oleh Allah. Dijauhkan dari godaan syirik dan keburukan pergaulan kota. Diberi keteguhan iman dan kemudahan rezeki yang halal dan berkah.

Dan kepada anak-anakku kelak, jika kau harus hidup di tanah rantau, ingatlah pesan ini: Bawalah dirimu dengan baik. Hargailah orang lain. Tapi jangan pernah korbankan prinsip dan imanmu hanya demi diterima. Hidup ini keras, tapi iman dan adab akan membuatmu tetap tegak, sekalipun badai datang menerpa.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment