Ketika Sesepuh Agama Tiada: Akankah Masyarakat Kehilangan Arah?

Bagikan Keteman :


Ketika Sesepuh Agama Tiada: Akankah Masyarakat Kehilangan Arah?

Di banyak desa, terutama di lingkungan yang masih kental dengan nilai-nilai tradisi dan keagamaan, sosok sesepuh agama memegang peranan penting. Ia bukan hanya pemimpin spiritual, tapi juga penjaga nilai, penengah konflik, dan simbol wibawa moral. Keberadaannya membawa rasa aman, arah, dan ketentraman dalam kehidupan beragama masyarakat.

Namun, bagaimana jika sesepuh ini tiba-tiba wafat?

Pertanyaan ini bukan sekadar soal kehilangan satu orang, melainkan soal goyahnya satu sistem nilai yang selama ini menopang kehidupan sosial dan spiritual warga desa.


1. Kekosongan Wibawa dan Kepemimpinan Moral

Sesepuh agama biasanya tidak hanya dihormati karena ilmunya, tapi juga karena keteladanannya. Ketika ia tiada, seringkali muncul kekosongan kepemimpinan moral yang tidak mudah diisi begitu saja. Wibawa tidak bisa diwariskan secara administratif; ia terbentuk dari proses panjang dan konsistensi dalam mendampingi masyarakat. Tanpa sosok yang cukup dihormati untuk menggantikannya, masyarakat bisa mengalami kebingungan dalam mengambil rujukan nilai.


2. Potensi Perpecahan dan Perebutan Pengaruh

Dalam beberapa kasus, kepergian tokoh utama bisa memicu perebutan posisi kepemimpinan, baik secara halus maupun terbuka. Terlebih jika tidak ada proses kaderisasi atau penunjukan penerus yang jelas sebelumnya. Akibatnya, muncul potensi perpecahan, baik antar generasi maupun antar kelompok, karena masing-masing merasa lebih pantas memegang tongkat estafet kepemimpinan.


3. Runtuhnya Tradisi dan Identitas Lokal

Banyak praktik keagamaan di desa tidak berjalan karena aturan tertulis, tapi karena ditanamkan secara turun-temurun oleh para sesepuh. Saat tokoh utama ini wafat tanpa ada penerus yang mumpuni, praktik tersebut perlahan bisa luntur. Tradisi pun mulai ditinggalkan, dan masyarakat perlahan kehilangan jati diri spiritual dan budaya yang selama ini mereka junjung.


4. Kegelisahan Sosial dan Spiritual

Sosok sesepuh bagi masyarakat desa bukan sekadar pemimpin, tetapi juga tempat mengadu, mencari nasihat, dan mendapat ketenangan batin. Ketika ia pergi, sebagian masyarakat bisa mengalami krisis spiritual, rasa kehilangan yang dalam, bahkan ketidakpastian dalam menjalankan nilai-nilai agama. Kondisi ini membuat masyarakat rawan terombang-ambing oleh pengaruh luar yang belum tentu sejalan dengan nilai lokal.


5. Peluang Regenerasi, Jika Dikelola dengan Bijak

Namun, tidak selamanya kepergian tokoh utama membawa kemunduran. Jika sebelum wafat sang sesepuh telah menyiapkan kader-kader penerus yang paham arah perjuangannya, maka ini bisa menjadi awal dari regenerasi yang sehat. Tokoh muda yang tumbuh dengan bimbingan langsung dari sang sesepuh bisa menjadi jembatan antara nilai lama dan kebutuhan zaman baru. Masyarakat pun bisa tetap berjalan di jalur tradisi, sambil beradaptasi dengan perubahan zaman.


Penutup: Jangan Tunggu Tokoh Tiada Baru Tersadar

Sesepuh tidak abadi. Maka tugas kita sebagai generasi penerus adalah memastikan nilai-nilai yang diwariskannya tetap hidup, meski jasadnya telah tiada. Caranya? Dengan memperkuat kaderisasi, menanamkan nilai secara kolektif, dan membuka ruang bagi generasi muda untuk belajar langsung dari para tokoh sebelum terlambat.

Sebab ketika sesepuh tiada, masyarakat akan diuji: apakah mereka hanya bergantung pada satu sosok, ataukah mereka telah menanamkan nilai itu dalam kehidupan bersama?


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment