Anak SMP yang Berani Jadi Kuli Bangunan

Bagikan Keteman :

Anak SMP yang Berani Jadi Kuli Bangunan

Usiaku baru saja menginjak remaja. Saat teman-teman sebayaku sibuk menikmati liburan setelah lulus SMP, aku justru berjalan ke arah yang berbeda. Bukan ke tempat wisata, bukan pula ke warnet atau taman bermain, melainkan menuju lokasi proyek bangunan — di sanalah aku memilih berdiri.

Lingkunganku kala itu penuh dengan orang-orang dewasa. Mereka tak banyak bicara tentang cita-cita muluk atau impian tinggi. Fokus mereka satu: bekerja, bekerja, dan bekerja. Dan entah bagaimana, aku merasa lebih cocok berada di tengah mereka daripada dengan anak-anak seusiaku. Barangkali, karena jiwaku memang dipaksa dewasa lebih dini oleh keadaan.

Salah satu dari mereka, seorang teman sekaligus kakak bagiku, bernama Majedi — biasa kupanggil Kakdi. Suatu hari, ia menawariku ikut bekerja di sebuah proyek pembangunan milik Perusahaan INDOSAT, di daerah Banyu Urip Ujung Pangkah. Upahnya? Rp 7.000 per hari. Bagi sebagian orang, mungkin angka yang kecil. Tapi bagiku saat itu, itu adalah harga dari kehormatan dan keringat pertamaku.

Tanpa ragu, aku terima ajakan itu.

Setiap pagi buta, usai sholat Subuh, aku mengayuh sepeda ontel tua sejauh satu jam perjalanan. Tas kecil di punggungku hanya berisi satu bungkus makanan dan pakaian kerja. Kami berangkat beriringan — aku, Kakdi, dan beberapa teman sekampung. Tak ada keluhan, tak ada rasa gengsi, meski kami hanya anak-anak kampung yang belum genap 15 tahun.

Setibanya di lokasi, Kakdi membimbingku: di mana tempat parkir sepeda, tempat mandi, tempat wudhu, tempat sholat, dan tempat beristirahat jika tenaga habis terkuras. Lalu tepat pukul 07.00 WIB, pekerjaan pun dimulai.

Hari pertamaku ditugaskan membawa secrop besar untuk meratakan pasir sirtu di sepanjang jalur jalan perusahaan itu. Pegangan tanganku gemetar. Bahuku pegal. Tapi langkahku tetap teguh. Jam 12.00, istirahat untuk makan dan sholat. Lalu lanjut kembali bekerja hingga pukul 16.00. Setelah sholat Ashar, kami pulang. Tiba di rumah hampir Maghrib.

Begitulah setiap hariku selama satu minggu penuh.

Tak pernah aku mengeluh. Tak pernah pula aku merasa malu. Karena aku tahu, di balik lelah ini ada harga diri yang sedang aku bangun sendiri. Dan di akhir minggu itu, aku menerima upah total Rp 56.000. Uang hasil jerih payah pertamaku. Hasil keringat yang tak pernah bisa dibeli oleh siapa pun selain oleh aku sendiri.

Aku genggam uang itu bukan dengan bangga semata, tapi dengan haru. Karena sejak saat itu, aku tahu bahwa harga diri seorang laki-laki muda bukan diukur dari apa yang ia punya, tapi dari seberapa besar ia mau berusaha tanpa mengeluh.

Kini, setelah sekian tahun berlalu, aku masih mengingatnya dengan sangat jelas — waktu, peluh, debu, dan rasa sakit di otot kecil tubuhku yang waktu itu belum banyak tenaga. Tapi aku bersyukur, karena aku telah merasakan bagaimana rasanya menjadi kuli bangunan. Anak remaja yang bekerja bukan karena terpaksa, tapi karena ia tahu: perjuangan tak pernah menunggu siapa yang siap, tapi menjemput siapa yang bersedia.

Dan aku, memilih menjadi salah satunya.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment