Perbedaan Peringatan Maulid Nabi: Nahdliyin dan Muhammadiyah dalam Bingkai Persaudaraan

Bagikan Keteman :

Setiap tanggal 12 Rabiul Awal, umat Islam di seluruh dunia mengenang kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Di Indonesia, momentum ini dikenal dengan istilah Maulid Nabi atau muludan. Namun, cara umat Islam memperingatinya berbeda-beda, sesuai dengan tradisi, pemahaman, dan manhaj organisasi.

Dua ormas besar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, memiliki pendekatan yang berbeda dalam menyikapi peringatan Maulid Nabi. Meski berbeda, keduanya lahir dari kecintaan yang sama kepada Rasulullah ﷺ.


Nahdliyin (NU): Maulid sebagai Tradisi Dakwah dan Budaya

Bagi warga Nahdliyin, muludan adalah tradisi kultural-religius yang sudah mengakar. Peringatan ini biasanya diisi dengan:

  • Pembacaan Maulid (Barzanji, Simthud Durar, Diba’iy) yang berisi pujian, doa, dan kisah kehidupan Nabi.
  • Pengajian atau ceramah yang menekankan teladan Rasulullah ﷺ.
  • Syi’ar kebersamaan: peringatan Maulid sering dikemas meriah dengan shalawatan, rebana, tumpengan, hingga pawai.
  • Nilai spiritual: dianggap sebagai sarana menumbuhkan rasa cinta, syukur, dan kebersamaan umat.

Landasan NU adalah prinsip ‘urf hasan (tradisi baik), selama tidak bertentangan dengan syariat. Bagi mereka, Maulid bukan ibadah mahdhah (yang harus ada contoh Nabi), melainkan ibadah ghairu mahdhah (amalan baik yang ditopang niat syukur dan dakwah).


Muhammadiyah: Maulid sebagai Kajian, Bukan Ritual

Berbeda dengan NU, Muhammadiyah tidak menjadikan Maulid Nabi sebagai perayaan ritual. Sikap ini lahir dari semangat purifikasi (pemurnian ajaran Islam), yaitu ibadah harus berdalil jelas dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Karena Nabi dan para sahabat tidak pernah mengadakan perayaan kelahiran beliau, Muhammadiyah menilai Maulid tidak perlu dirayakan dalam bentuk ritual tahunan.

Namun bukan berarti Muhammadiyah mengabaikan momentum ini. Biasanya mereka mengisinya dengan:

  • Tabligh akbar atau pengajian tentang sirah Nabi.
  • Kajian tematik mengenai akhlak, dakwah, dan perjuangan Rasulullah ﷺ.
  • Aksi sosial seperti santunan anak yatim atau kegiatan kemasyarakatan.

Dengan demikian, bagi Muhammadiyah, Maulid adalah momentum edukasi dan pencerahan, bukan perayaan seremonial.


Persamaan yang Sering Terlupakan

Meski berbeda ekspresi, keduanya punya tujuan sama:

  • Menumbuhkan mahabbah (cinta) kepada Nabi.
  • Meneladani akhlak dan perjuangan Rasulullah ﷺ.
  • Menguatkan ukhuwah dan dakwah Islam di tengah masyarakat.

Perbedaan hanya pada cara mengungkapkan cinta itu: NU dengan tradisi dan ekspresi budaya, Muhammadiyah dengan pendekatan pendidikan dan dakwah rasional.


Mengelola Perbedaan dengan Bijak

Dalam masyarakat, perbedaan ini terkadang menimbulkan pro-kontra. Namun bila dikelola dengan bijak, justru memperkaya khazanah keberislaman di Indonesia.

  • Bagi NU: jangan menganggap yang tidak merayakan Maulid berarti tidak cinta Nabi.
  • Bagi Muhammadiyah: jangan serta-merta menilai perayaan Maulid sebagai amalan sesat.
  • Bagi umat Islam secara umum: pahami bahwa keragaman cara ini lahir dari perbedaan manhaj, bukan perpecahan iman.

Penutup

Peringatan Maulid Nabi, baik dengan tradisi meriah ala Nahdliyin maupun dengan kajian sederhana ala Muhammadiyah, sesungguhnya berangkat dari satu sumber yang sama: kecintaan kepada Rasulullah ﷺ.

Perbedaan jangan sampai membuat umat terpecah. Justru dengan saling menghargai, umat Islam di Indonesia bisa menjadikan Maulid sebagai momen mempererat persaudaraan, bukan memperuncing perbedaan.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment